Sebagai warga Indonesia, bangga rasanya hidup di negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya yang beragam. Namun, di balik kebanggaan tersebut, terdapat paradoks dalam sistem pendidikan yang menimbulkan kekhawatiran.
Di satu sisi, pendidikan merupakan hak setiap warga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Di sisi lain, pendidikan tersebut masih harus dibayar oleh rakyat. Pendidikan yang seharusnya gratis ternyata penuh dengan berbagai biaya tersembunyi yang membebani masyarakat.
Meski Indonesia telah menunjukkan kemajuan ekonomi signifikan dan tergabung dalam kelompok G-20, pendidikan gratis masih menjadi tantangan besar, berbeda dengan Kuba dan Korea Utara yang berhasil menerapkannya.
Banyak orang tua merasa terbebani oleh biaya sekolah anak-anak mereka, mulai dari seragam, buku, hingga biaya ekstrakurikuler. Di banyak sekolah negeri, orang tua masih diharuskan membayar berbagai macam pungutan seperti uang komite sekolah atau biaya kegiatan tertentu. Padahal, dalam teori, sekolah negeri seharusnya gratis. Di daerah terpencil, situasi ini lebih parah, di mana akses ke sekolah menjadi tantangan tersendiri karena infrastruktur yang kurang memadai.
Kuba, meskipun pendapatan per kapitanya lebih rendah daripada Indonesia, mampu menyediakan pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ini menunjukkan bahwa dengan kemauan politik yang kuat dan kebijakan yang tepat, pendidikan gratis bisa direalisasikan. Hal serupa terjadi di Korea Utara, di mana pemerintah memastikan bahwa pendidikan menjadi hak yang benar-benar dinikmati oleh setiap warga negara tanpa biaya.
Indonesia perlu belajar dari negara-negara tersebut dalam mengelola anggaran pendidikan. Alokasi anggaran yang lebih besar dan pengawasan ketat dalam penggunaannya menjadi langkah awal yang perlu diambil. Pemerintah dapat mengurangi berbagai biaya yang selama ini dibebankan kepada orang tua dengan memangkas biaya tidak penting dan mengoptimalkan dana yang ada untuk kepentingan pendidikan.
Pemda DKI Jakarta, sebagai contoh nyata, beberapa tahun terakhir ini telah menggratiskan biaya pendidikan di sekolah negeri. Meski belum sempurna, langkah ini merupakan upaya yang patut diapresiasi dan dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Pemerintah pusat juga bisa membuat kebijakan serupa untuk memastikan bahwa pendidikan gratis bukan hanya sekadar janji, tetapi kenyataan yang dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Paradoks pendidikan di Indonesia mencerminkan masalah yang lebih luas dalam pengelolaan kebijakan publik. Sebagai bagian dari kelompok G-20, sudah saatnya Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan dengan lebih serius. Dengan begitu, harapan akan pendidikan yang benar-benar gratis dan berkualitas dapat terwujud, sehingga generasi mendatang dapat tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan kompetitif di kancah global.
Pendidikan Gratis di Negara Lain
Pendidikan gratis bukanlah konsep utopis. Beberapa negara telah membuktikan bahwa hal ini dapat diwujudkan. Negara-negara seperti Brunei, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Jerman mampu menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Contoh dari negara-negara ini menunjukkan bahwa pendidikan gratis dapat menjadi kenyataan jika ada kebijakan dan komitmen yang tepat dari pemerintah.
Brunei Darussalam, sebagai salah satu negara kecil di Asia Tenggara, telah lama menyediakan pendidikan gratis bagi warganya. Dengan sumber daya minyak yang melimpah, pemerintah Brunei mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Pendidikan di Brunei tidak hanya gratis, tetapi juga berkualitas tinggi, dengan fasilitas modern dan tenaga pengajar yang kompeten.