Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... Lainnya - Pencari Makna

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Prioritaskan Kesejahteraan Mental: Mengatasi Stresor dalam Pendidikan Kedokteran

18 April 2024   22:07 Diperbarui: 19 April 2024   11:53 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prioritaskan Kesejahteraan di Pendidikan Kedokteran (Sumber: Pexels.com/RDNE Stock project)

Penting untuk dipahami bahwa depresi dokter spesialis bukanlah pilihan, tetapi seringkali merupakan hasil dari tekanan yang tak terelakkan dalam pendidikan kedokteran. 

Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk mengubah paradigma ini dan menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung kesejahteraan fisik dan mental para calon dokter. Dengan demikian, kita tidak hanya mempersiapkan mereka untuk menjadi ahli dalam bidang medis, tetapi juga untuk menjadi manusia yang sehat dan bahagia secara keseluruhan.

Stresor dan Beban Kerja sebagai Ancaman Kesejahteraan

Stresor dan beban kerja yang tinggi dalam pendidikan tidak hanya menjadi beban fisik, tetapi juga menjadi ancaman serius terhadap kesejahteraan mental siswa atau mahasiswa. Lingkungan yang dipenuhi dengan tekanan dan tuntutan yang tidak terpenuhi dapat menciptakan kondisi yang tidak sehat secara mental, membuka jalan bagi berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan risiko bunuh diri.

Tekanan untuk mencapai standar akademis yang tinggi sering kali menjadi beban yang sangat berat bagi siswa atau mahasiswa. Persaingan sengit dan ekspektasi yang tinggi dapat menimbulkan perasaan tidak aman dan kurangnya rasa percaya diri. Setiap tugas, ujian, atau presentasi dapat menjadi pemicu stres yang berlebihan, mengganggu keseimbangan mental dan emosional individu.

Tuntutan jadwal yang padat juga merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang tidak sehat secara mental. Dengan jadwal yang terus-menerus penuh dengan aktivitas akademis dan ekstrakurikuler, siswa atau mahasiswa sering kali merasa terjebak dalam siklus yang tidak ada habisnya. Mereka merasa kehilangan kendali atas waktu dan hidup mereka sendiri, yang dapat menyebabkan penurunan motivasi dan kepuasan hidup secara keseluruhan.

Kurangnya dukungan sosial juga merupakan elemen kunci dalam meningkatkan risiko masalah kesehatan mental di kalangan siswa atau mahasiswa. Ketika individu merasa terisolasi atau tidak didukung oleh teman sebaya, keluarga, atau staf pendidik, mereka cenderung mengalami kesulitan dalam mengatasi stres dan tekanan yang mereka hadapi. Rasa kesepian dan terpisah dari lingkungan sosial yang mendukung dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.

Dalam situasi di mana stresor dan beban kerja dalam pendidikan mencapai tingkat yang tidak sehat, sangat penting untuk mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini. Hal ini melibatkan pendekatan holistik yang melibatkan baik aspek akademis maupun kesejahteraan mental individu. 

Dukungan yang memadai, baik dari segi konseling, dukungan sosial, atau penyesuaian kebijakan institusional, diperlukan untuk membantu siswa atau mahasiswa mengelola stres dan tekanan dengan lebih efektif, mencegah terjadinya masalah kesehatan mental, dan mempromosikan kesejahteraan secara menyeluruh.

Bagaimana dengan para mahasiswa dokter spesialis? Apakah mereka tidak memiliki beban stresor dan beban kerja yang tinggi? Saya berkeyakinan bahwa justru stresor dan beban kerja dalam pendidikan, khususnya di kalangan calon dokter spesialis lebih tinggi jika dibandingkan para calon spesialis dari pekerjaan lainnya.

Hasil survey Kementerian Kesehatan RI telah membuktikan bahwa sebanyak 22,4 persen calon dokter mengalami tekanan berat selama menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS) berujung depresi. Bahkan, 3,3 persen atau 399 peserta PPDS di antaranya ingin mengakhiri hidup atau melukai diri. Total peserta skrining dari seluruh rumah sakit adalah 12.121 PPDS, dengan metode kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9. Hasilnya, sebanyak 22,4 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis terdeteksi mengalami gejala depresi.

Dalam menghadapi tantangan stres dan beban kerja yang tinggi di kalangan dokter spesialis, sangat penting untuk mengambil tindakan yang memadai untuk mencegah dan mengatasi depresi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun