Hendra, sebagai marbut dan petani yang gigih, menunjukkan pengorbanan yang mendalam untuk mengabdi pada Tuhan dan komunitasnya, memperkuat pentingnya penghargaan terhadap peran vital marbut dalam menjaga spiritualitas, kebersihan masjid, dan kesejahteraan komunitas.
Pukul lima pagi, langit masih malam pekat, namun di Kampung Uning Niken, Aceh Tengah, seorang pria bernama Hendra telah bangun dari tidurnya. Langkahnya ringan, seperti yang dilakukan setiap pagi, menuju masjid terdekat. Namun, kehadiran Hendra tidak hanya karena kewajiban agama, tetapi karena panggilan hatinya yang mendalam untuk merawat rumah suci tersebut. (tribunnews.com, 31/03/2024)
Hendra, seorang marbut setia dari Masjid Al-Wathan, telah menjadi pemandangan biasa di kampung kecil ini. Namun, di balik kisah sederhananya, terdapat satu perjuangan yang jarang terungkap.
Sejak hampir dua tahun lalu, Hendra memilih meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil di Jawa Timur. Hendra mengetahui bahwa panggilan untuk kembali ke kampung halaman adalah tak terhindarkan. Kembali ke Aceh Tengah, Hendra bertekad menjadi marbut, pekerjaan yang tak hanya memberinya nafkah, tetapi juga memberinya ruang untuk mengabdi kepada Tuhan dan masyarakatnya. Inilah kisah kecil seorang pria sederhana yang membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar.
Berapa banyak lagi seperti Hendra di Indonesia? Berapa banyak marbut masjid yang dengan setia menjaga rumah suci, sementara menghadapi perjuangan pribadi yang jarang terungkap?
Konteks dan latar belakang
Hendra bukanlah sosok biasa. Setiap hari, sebelum matahari terbit, ia sudah berada di masjid untuk membersihkan dan merawatnya. Namun, pekerjaan Hendra tidak berhenti di situ. Di sela-sela tanggung jawabnya sebagai marbut, Hendra juga mengelola kebun miliknya sendiri. Dengan tekun, ia menanam berbagai jenis palawija, memberikan hasil panen yang bermanfaat bagi keluarganya dan juga komunitas sekitar.
Peran seorang marbut seperti Hendra tidak bisa diabaikan. Mereka adalah penjaga kebersihan dan keamanan masjid, serta menjadi sosok yang mewakili nilai-nilai keagamaan di tengah masyarakat. Tanpa mereka, masjid tidak akan dapat berfungsi dengan baik, dan kehidupan keagamaan serta sosial di kampung akan terganggu.
Dengan setiap sapuan sapu dan setiap biji tanaman yang ditanamnya, Hendra bukan hanya menjaga rumah suci, tetapi juga memberikan kontribusi positif yang besar pada komunitasnya. Keberadaannya sebagai marbut dan petani yang gigih tidak hanya memberikan nafkah bagi keluarganya, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang di sekitarnya.
Dalam momen penuh berkah seperti ini, peran marbut masjid, seperti Hendra dari Masjid Al-Wathan, Kampung Uning Niken, Aceh Tengah, seharusnya dilihat sebagai pemenang sejati. Mereka adalah pilar penting dalam menjaga kebersihan dan kelancaran ibadah di masjid, serta memberikan kontribusi yang besar pada kehidupan komunitas. Oleh karena itu, mereka layak untuk dihargai secara lebih besar atas dedikasi dan pengabdiannya yang tanpa pamrih.
Dalam konteks aktual, tantangan yang dihadapi oleh marbut masjid seperti Hendra semakin kompleks. Meskipun mereka menjalankan tugas mereka dengan penuh dedikasi, keterbatasan finansial seringkali menjadi hambatan dalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar marbot masjid bekerja secara sukarela atau dengan upah yang tidak sebanding dengan kerja keras dan tanggung jawab yang mereka lakukan, membuat situasinya semakin menantang.