Dalam hening sepiku. Di ruangan bersegi empat tertutup ini, aku hadir dalam potret kenangan lama. Menghadirkan tangan kasih seluas alam semesta.
Dalam hening, aku tahu tangan keriput itu telah menenun kasih tak terhitung. Tangan penuh cinta yang telah memberi makan sejuta kali atau mungkin dalam jumlah tak berhingga jika saja aku selalu berada di sampingnya.
Di dalam ruangan tertutup ini, telah mengantar aku kepada tangan yang telah berulangkali membelai kepalaku di saat aku hendak tidur. Tangan yang telah memberi dekapan cinta.
Kenangan ini sangat nyata. Bukan hanya sekedar cerita pemanis waktu. Tentang tangan nyata yang merangkul erat pada tubuhnya ketika sedih melilit jiwa ini. Atau tangan tanpa sedikitpun rasa jijik ketika membersihkan diri ini dari sisa-sisa kotoran di saat membuang air besar.
Aku tahu dengan pasti dan ini adalah sebuah kebenaran lain yang terungkap dalam heningnya waktu. Di bawah matahari yang membakar, tangan ini dengan cekatan membersihkan rerumput di kebun dan sawah demi makanan kepada diri ini.
Teruntuk tangan ini, aku tak bisa bisa membalas semua tenunan kasihnya. Hanya terima kasih diucapkan. Sayang, hanya sebagian doa untuk tangan ini, sebab doa-doa hanya mementingkan diri.
Dalam ruang bersegi tertutup, ada tanya yang menggelitik. Apakah tangan ini bisa membalas kebaikan tangan itu. Dan apakah tanganku sekarang ini sudah seperti tangan ibu yang selalu hangat dengan kasih dan senantiasa memberi kebaikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H