Mentari pagi sudah berjalan perlahan
Tangisan pecah menerobos pada titik-titik embun
Yang bergantungan pada daun-daun mungil sirsak
Lalu jatuh ke tanah
Si bocah kecil berjalan menuju ibunya
Dengan butiran kristal memenuhi kelopak matanya
Lalu mengalir perlahan jatuh pada pipi mungilnya
Berteriak kencang sejadi-jadinya
Lantas pemilik tangis menangis berpalang lantai kotor
Tidak seperti matahari berjalan di langit biru yang bersih
Tetapi sama-sama menyemburkan panas membara mencekik hati
Sebab kelakuan unik sering kali datang tiba-tiba.
Si bocah bulat meminta sarapan pada ibu di tengah kesibukannya.
Meminta dengan cara unik menyakitkan.
Padahal ketika ibu tak ada kerja pada tangan lusuhnya dan mengajaknya makan,
Engkau si bocah bundar seringkali menghindar.
Hati ibu semulia emas,
tak terkikis oleh karatan.
Merayumu dengan rendah hati.
Menjelaskan penuh kesabaran.
Lantas engkau diam
Perlahan-lahan pula si bocah bulat mengisi perut manisnya dengan lahap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H