Hati ini merasa muak mendengar kelakarmu. Tak hanya  suaramu, tatapan matamu juga menoreh luka pedih pada jiwa terdalamku. Aku tak tahu mengapa rasa muak dan pedih perih datang tak diundang. Bagai pencuri menyusup di tengah malam suntuk mengganggu kenyaman tuan rumah.
Kadang aku menjauh demi menghindar diri dari suaramu yang mengorek sakit pada gelindang telinga hati. Aku tak mampu menatap matamu karena pada tatapanmu kau pasang pisau tajam yang menyayat. Kemanapun engkau pergi asalkan berlalu di hadapanku, rasa itu kembali menggerogoti hati ini.
Dalam hening sepi, tatapan dan suaramu selalu hadir melumat habis rasa sukmaku. Hati  terus tersayat dan dada sesak terhimpit rasa benci. Aku tahu kau tak melakukan kesalahan sedikItpun padaku.
Pada suatu senja takala mentari mulai bersembunyi malu di balik layar gunung. Aku membawamu dalam hening sepi yang mendalam. Membayangkan kembali wajahmu dan mendengarkan kembali suaramu. Adakah suara dan wajahmu berada di dalam memori masa laluku? Aku menelusuri lorong-lorong kehidupan masa laluku. Aku menemukan engkau dalam diri sahabatku yang mirip suara dan tatapanmu.Â
Dalam kesadaran, aku hanya bisa menyampaikan maafku karena sebenarnya ini bukan salahmu. Ini kesalahan memoriku yang belum tersembuhkan dari luka yang tertanam sangat dalam  pada hati. Maafkan aku, karena  engkau ternyata hanya mirip suara dan tatapan sahabatku yang telah membawa pergi pujaan hatiku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI