Mohon tunggu...
Evita Yolanda
Evita Yolanda Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sudah Benarkah Anda dalam Mengonsumsi Antibiotika?

10 Januari 2015   19:49 Diperbarui: 14 November 2015   22:00 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_389807" align="aligncenter" width="596" caption="Gambar: www.beatingheartcenter.com"][/caption]

EMERGENSI RESISTENSI ANTIBIOTIKA

Antibiotika adalah segolongan senyawa yang memiliki efek menekan atau menghentikan proses biokimia organisme, khususnya dalam proses infeksi bakteri. Resistensi antibiotika adalah suatu kejadian dimana antibiotika yang semula mampu melumpuhkan suatu bakteri menjadi kehilangan khasiatnya.

Pada kasus resistensi, bakteri dapat bertahan hidup meskipun telah terpapar oleh antibiotika. Akibat paparan yang terlalu sering, bakteri mengembangkan sistem pertahanan dan kekebalan sehingga bakteri menjadi tahan terhadap antibiotika. Analog dalam perang, jika kita tidak bijak menggunakan suatu senjata, maka musuh akan “mempelajari” senjata tersebut dan membuat pertahanan yang lebih hebat untuk melawan. Begitulah resistensi ini terjadi, bakteri menjadi kebal terhadap antibiotika karena penggunaannya yang tidak tepat.

Akibat dari resistensi antibiotika ini yaitu sukarnya memusnahkan infeksi bakteri, perburukan kondisi pasien, perpanjangan waktu penyembuhan, pemborosan biaya kesehatan, dan meningginya angka morbiditas bahkan mortalitas.

Kasus resistensi antibiotika telah menjadi permasalahan yang sangat penting bagi dunia kedokteran saat ini. CDC (Centers for Disease Control and Prevention), sebuah lembaga pencegahan dan pengendalian penyakit milik pemerintah Amerika Serikat, pada tahun 2007 melaporkan bahwa penyakit infeksi telah menyebabkan 1,7 juta orang menderita dan 99.000 diantaranya meninggal dunia. Hal itu dikarenakan banyak antibiotika yang tidak ampuh lagi untuk melawan bakteri.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelitian di tahun 2002-2005 melalui studi AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia) menunjukkan bahwa dari sampel bakteri E. coli pada 2.494 pasien diketahui bahwa 43% diantaranya sudah kebal terhadap berbagai macam antibiotika seperti ampicillin, cotrimoxazole, dan chloramphenicol. Di samping E. coli, terdapat berbagai bakteri lainnya telah resisten terhadap antibiotika seperti Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), dan masih banyak lainnya. Menurut Ketua Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Klinik Indonesia (PAMKI), Prof. Sam Suharto, dalam 20 tahun terakhir ini makin banyak pasien operasi ringan meninggal karena infeksi, akibat tidak ada antibiotika yang mempan.

BERAKAR DARI KURANGNYA RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

Antibiotika telah menjadi primadona bagi masyarakat dalam mengobati berbagai penyakit. Selain itu, sudah terbentuk persepsi di benak sebagian masyarakat bahwa bila pulang dari kunjungan dokter harus membawa resep. Seolah jika tidak membawa resep akan terasa kurang lengkap. Hal ini mendorong sebagian dokter untuk memberi resep antibiotika meskipun saat tidak perlukan.

Penggunaan antibiotika yang irasional ini juga diperparah oleh lemahnya penegakan regulasi penjualan antibiotika di kalangan distributor obat. Berbeda dengan obat-obat bebas yang dapat kita peroleh di warung atau kios, antibiotika termasuk golongan obat keras. Menurut  SK Menkes R.I No. 663/Ph/62/b, 25 Juni 1962, obat keras yaitu semua obat yang pada bungkus luarnya disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter. Penandaan obat keras pada kemasan yaitu lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam serta huruf K hitam yang menyentuh garis tepi. Tanda ini terdapat pada kemasan kotak atau botol. Pada kemasan aluminium foil sediaan oral--yang paling sering dibeli masyarakat melalui apotek--biasanya tetap dicantumkan bahwa obat hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter.

[caption id="attachment_389749" align="aligncenter" width="320" caption="Tanda Khusus Obat Keras"]

14208479861595635582
14208479861595635582
[/caption]

 

Meskipun telah terdapat peraturan yang mengatur bahwa antibiotika hanya dapat diserahkan dengan resep dokter, namun pada kenyataannya masyarakat dapat membeli antibiotika di apotek dengan bebas. Hal tersebut bagaikan pedang bermata dua, di satu sisi masyarakat melakukan swamedikasi, namun juga mendulang risiko yang jauh lebih besar yaitu penggunaannya yang tidak sesuai.

KESALAHAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

Aturan pertama dari penggunaan antibiotika adalah sebisa mungkin untuk tidak menggunakannya bila tidak diperlukan, yang kedua adalah tidak menggunakan terlalu banyak. Berikut kesalahan penggunaan antibiotika yang biasa terjadi:

Antibiotika untuk gejala ringan. Antibiotika terlalu sering digunakan bahkan untuk gejala-gejala ringan seperti batuk pilek, demam ringan dan lainnya. Penggunaannya tentu menjadi tidak tepat guna karena demam ringan belum tentu disebabkan oleh bakteri. Demam ringan yang disertai flu bisa sembuh dengan istirahat yang cukup.

Membeli antibiotika tanpa melalui konsultasi dokter. Contoh ketika seorang pasien melihat obat yang telah diresepkan dokternya habis dan belum merasa sembuh, pasien kadang membeli kembali obat tersebut tanpa melalui konsultasi dokter. Pasien hanya perlu ke apotek dan menyebutkan obat yang ingin dibeli--biasanya pasien berpatokan pada pengobatan sebelumnya. Apalagi jika sudah familiar dengan nama suatu antibiotika, pasien akan cenderung terus membeli antibiotika tersebut setiap merasa sakit. Memang ada sebagian resep dokter yang diberikan tanda khusus agar pasien dapat mengulangi resep tersebut tanpa melalui dokter, namun hal ini tentu saja merupakan anjuran dokter itu sendiri--biasanya digunakan untuk pengobatan jangka panjang. Pengulangan resep yang tidak diperbolehkan adalah yang bersifat  kehendak pasien sendiri tanpa anjuran dan persetujuan dokter.

Berhenti sebelum obat habis. Masyarakat kita juga punya kebiasaan jika  sudah merasa sembuh ingin segera menghentikan konsumsi obatnya. Padahal antibiotika harus diminum sampai habis sesuai dosis dan jumlah yang diresepkan dokter. Hilangnya gejala belum tentu menandakan eradikasi bakteri sepenuhnya, maka obat harus diminum hingga habis. Jika tidak, bakteri bisa menjadi kebal dengan antibiotika sebelumnya dan pasien harus meminum antibiotika dengan dosis yang lebih tinggi, atau mengganti pilihan antibiotika.

GUNAKAN ANTIBIOTIKA SESUAI ATURAN

Untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotika, masyarakat sebagai pengguna harus mengikuti aturan konsumsi yang benar. Memang terdengar klasik, namun efek jangka panjangnya sangat besar. Langkah yang tepat dalam menggunakan antibiotika yaitu:

Mengurangi frekuensi mengonsumsi antibiotika yang tidak perlu. Gejala ringan pada umumnya tidak memerlukan antibiotika. Jangan sembarangan mengonsumsi apalagi meminta dokter meresepkan antibiotika ketika tidak diperlukan.

Menggunakan antibiotika hanya melalui resep dokter. Patuhi dosis dan jangka waktu sesuai resep. Tanyakan juga pada dokter, obat mana dari resep yang mengandung antibiotika. Pastikan  dosis dan cara meminumnya.

Menjaga kondisi kesehatan dengan cukup nutrisi, olahraga, serta istirahat. Pada dasarnya manusia telah dikaruniai mekanisme pertahanan tubuh yang luar biasa untuk memerangi berbagai penyakit, maka mari kita manfaatkan. Usaha tersebut jauh lebih sehat dan murah dibandingkan dengan menggantungkan diri kepada antibiotika.

 

Ingat, antibiotika hanya dikonsumsi jika diperlukan serta jelas indikasinya, bukan di setiap waktu sakit :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun