[caption id="attachment_346893" align="aligncenter" width="359" caption="(Foto: manado.tribunnews.com)"][/caption]
Â
‘Masyarakat sekarang sudah pintar’ suatu opini yang berkali-kali saya dengar ketika isu-isu panas politik menjelang pilpres sedang menjadi tren topik. Dengan segala kilah yang belum tentu jelas validasinya, para pendukung kubu dua kutub berbeda saling gonjang-ganjing. Yang membuat saya penasaran, siapa induk yang menelurkan gagasan masyarakat sudah pintar?
Opini ‘masyarakat sudah pintar’ kurang pas jika dimaksudkan untuk mewakili kondisi masyarakat yang pandai bercuap-cuap mengenai politik hanya berdasarkan informasi superfisial yang didapatnya. Istilah di atas hanya bisa digunakan jika masyarakat sudah bisa menetapkan preferensi politiknya dari data empirik, multi perspektif, dan tidak hanya dari satu fokus media.
Banyak orang saling adu siapa yang paling argumentatif dengan mengusung rekam jejak pasangan pilihannya. Istilah kerennya, track record. Track record dijadikan senjata pamungkas untuk membela atau menjatuhkan si A si B.  Seolah ketika mendengar kata track record semua informasi terlepas itu benar atau salah langsung tersihir jadi cantik. Melihat track record calon pemimpin saja tidak cukup. Track record harus kita uji dulu kredibilitas dan objektivitasnya. Kita harus bisa melihat mana akar, batang, dan ranting dari track record tersebut. Melihat dan membedah apa yang nampak dan tidak.
Fenomena ‘masyarakat sudah pintar’ ini hanya bentuk eksplisit dari perkembangan teknologi ketika media informasi sudah menjadi common sense. Hal ini lebih terlihat sebagai masyarakat yang ‘pintar mengakses’ namun belum sampai pada level ‘pintar memilah dan mengolah’.
Masyarakat kita memang latah, mudah terbawa tren, ditambah arus teknologi membuatnya seperti minyak disulut api. Kondisi ini menjadi sasaran empuk media-media dan juragannya untuk menggiring opini masyarakat. Hal ini yang ditakutkan merasuki masyarakat yang tidak mampu mengeksplorasi kebenaran suatu berita. Lalu bagaimana dengan masyarakat desa yang hanya memiliki akses televisi? Mereka akan dengan lugunya percaya pada berita-berita manipulatif kaum tidak bertanggungjawab. Lain halnya dengan masyarakat kota. Sebagian bukannya tidak mampu, tapi tidak punya cukup waktu atau bahkan tidak mau, karena apatis atau bisa jadi sudah termakan arogansi opininya sendiri.
Media yang menjunjung idealisme dan netralitasnya selama masa pilpres ini bisa dihitung dengan jari. Entah mereka akan taubat selepas keluarnya hasil pemilu nanti atau tidak. Kebebasan pers tidak seharusnya menjadi legitimasi bagi media untuk menjadi dalang dalam pewayangan politik dan opini publik. Bahkan media-media yang selama ini dikenal prestisius dan kredibel dalam sekejap disulap jadi mesin informasi konfrontatif. Para pengamat politik yang dijunjung intelektualitasnya berubah wujud menjadi bunglon, berwarna-warni tergantung situasi dan afiliasi.
Menjadi antusias tentang pilpres menurut saya tidak masalah, malah memang seharusnya demikian. Namun sekali lagi, segala informasi yang dicerna harus berlandaskan kebenaran, bukan asal ikut wara-wiri arus media. Saya sangat berharap suatu saat nanti masyarakat Indonesia akan benar-benar ‘sudah pintar’ seperti yang dielukan selama masa pilpres ini.
Â
Salam dari kota tapis berseri.
Â
Sehari sebelum pilpres 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H