Jika kapal mengalami kebocoran dan hendak tenggelam, apa yang sebaiknya dilakukan?
Per 25 Juli lalu, BPJS Kesehatan menetapkan beleid yang merombak jaminan terhadap operasi katarak, persalinan bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik (fisioterapi).
Keputusan ini menimbulkan penolakan dan lontaran kritik baik dari masyarakat maupun Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan organisasi profesi lainnya. Mari kita ulik topik ini dari dua sisi yang berseberangan: dokter-pasien dan BPJS.
Kontroversi Beleid Sebagai Usaha Penyelamatan
Peraturan baru BPJS yang termaktub dalam Perdirjampel BPJS Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 tahun 2018 tersebut didasari oleh proyeksi defisit anggaran badan asuransi pelat merah ini yang menembus Rp16,5 triliun (Kompas, 2/8/2018). BPJS menilai usaha ini sebagai pencegahan tenggelamnya "kapal" BPJS.
"Program Jaminan Kesehatan Nasional harus kita selamatkan. Saat ini kita mengalami defisit dana jaminan sosial dan jika tidak melakukan efisiensi, bisa jadi kapal ini akan tenggelam."
-- dr. Budi Mohamad Arief, M.M., Deputi Direksi Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan (CNN Indonesia, 2/8/18)
Keputusan baru BPJS tersebut mengatur tentang:
- Penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan apabila visus (ketajaman penglihatan) mata pasien sebelum operasi kurang dari 6/18, dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota.
- Bayi baru lahir dengan kondisi sehat pascaoperasi caesar maupun normal dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam satu paket persalinan.
- Tindakan rehabilitasi medik dibatasi menjadi maksimal dua kali per minggu atau delapan kali dalam sebulan.
Jaminan terhadap tiga kondisi tersebut bukan dihapuskan sama sekali, namun prioritas jaminan dipersempit, tidak lagi dijamin penuh seperti sebelumnya.
Berikut penjabarannya: