Hari ini, 31 Mei 2018, bertepatan dengan World No Tobacco Day atau Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Hari peringatan ini pertama kali diperkenalkan oleh World Health Organization (WHO) untuk menyuarakan kampanye tentang gangguan dan risiko kesehatan akibat rokok, serta melakukan advokasi kebijakan dalam penekanan konsumsi rokok.
Tulisan ini tidak akan bicara angka. Sesuai judulnya, tulisan ini mengajak pembaca memaknai kondisi sesungguhnya di balik deretan angka pencandu dan angka kematian akibat adiksi rokok.
**
Waktu itu saya naik travel dalam perjalanan kembali ke kampung halaman. Saya duduk di kursi samping supir. Sang supir terlihat ramah, sesekali bercanda dengan para penumpang.
Sewaktu itu, mobil kami hampir menyerempet sepeda motor yang agak teledor berkendara. Selepas kejadian, sang supir terlihat sangat gusar, dan tak lama kemudian ia mengambil sebatang rokok dari sakunya. Ia menyalakan rokok itu, tak bicara dan bercanda kepada para penumpang seperti sebelumnya.
Beberapa saat setelah selesai menghisap rokoknya, sang supir kembali bercengkerama dengan kami para penumpang setelah kegusarannya hilang.
Kami tiba di rumah salah satu penumpang. Sang supir turun hendak mengeluarkan barang bawaan dari bagasi. Sesaat setelah beliau kembali ke kursinya, beliau tampak marah. Tampaknya ada selisih paham antara ibu penumpang tadi dengan sang supir, mungkin masalah ongkos, saya juga tak tahu. Yang saya tahu, selepas berubahnya air muka beliau, beliau kembali menyalakan rokok dari sakunya.
Pembaca tentu bisa mengambil inti dari cerita ini. Ketika kita bicara masalah pencandu rokok, kita sering luput melihat ada apa di balik kondisi candu atau adiksi ini.
Adiksi sebagai coping mechanism
Coping mechanism atau selanjutnya saya sebut mekanisme koping, adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, serta merespon situasi yang mengancam. Singkatnya, mekanisme koping adalah usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yang dihadapinya.
Mekanisme koping terbagi menjadi adaptif dan maladaptif. Mekanisme koping yang adaptif akan memecahkan masalah secara efektif dengan aktivitas yang sifatnya konstruktif. Sebaliknya, mekanisme koping yang maladaptif akan menghasilkan perilaku yang menyimpang dan dapat merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Pengalaman pada cerita tadi adalah contoh mekanisme koping yang maladaptif, yaitu melepas marah dengan menghisap rokok. Jika hal ini dilakukan terus menerus, maka seseorang akan mengalami habituasi dari perilaku ini dan terbukalah pintu untuk mengalami adiksi.
Adiksi dan "reward system"
Faktanya, otak kita bisa mengalami adiksi terhadap apa saja. Ada dua jenis adiksi, yaitu adiksi terhadap zat dan adiksi terhadap perilaku. Kata adiksi tak hanya bisa disandingkan dengan rokok, narkoba, judi, game, dan hal-hal lain yang senada. Adiksi juga bisa terjadi pada hal-hal senetral makan, bekerja, bahkan menulis.
Mekanisme terjadinya adiksi melibatkan jalur "reward system" di otak yang diperantarai salah satu neurotransmitter yaitu dopamin. Dopamin memberikan sensasi "feel good" pada diri kita.
Seperti cerita pada awal tulisan tadi, sang supir merasakan kelegaan setelah menghisap rokoknya. Ketika perilaku ini dilakukan berulang-ulang, rokok akan menjadi pelarian dalam situasi-situasi tidak mengenakkan dalam kesehariannya, serta menjadi sebab dari kegelisahan bila dihentikan penggunaannya.
Bila hendak memutus rantai antara rokok dan "reward system" ini, maka dibutuhkan "reward system" yang baru. Diperlukan sesuatu yang juga memberikan sensasi "feel good"Â pada diri seperti sebelumnya.
Itulah mengapa, pada orang-orang yang baru saja berhasil mengatasi adiksinya pada rokok, biasanya mengalami masalah baru. Contoh yang paling sering adalah nafsu makan yang meningkat.
Bagaimana dengan rokok pada remaja?
Jika ada yang berpikir remaja tidak mengalami stres seperti halnya orang dewasa, sesungguhnya ini keliru.
Remaja juga mengalami tekanan pada dirinya, pada zona yang berbeda dari orang dewasa. Mulai dari masalah pertemanan, percintaan, dan kegalauan khas anak remaja lainnya. Hingga yang baru kita dengar yaitu remaja bunuh diri karena takut tidak diterima SMA favorit.
Mental yang kurang ditempa dan lingkungan yang tidak mendukung mengakibatkan mereka bisa melakukan apa saja untuk melepaskan beban. Nihilnya kemampuan manajemen stres ini bisa terbawa hingga dewasa dan berimbas pada lahirnya pecandu-pecandu baru.
Selain karena fenomena remaja "ingin keren" yang mengimitasi perilaku dari lingkungannya, faktor ini tak bisa dipungkiri juga turut memiliki andil.
Sama halnya dengan Ardi Rizal, bocah yang sempat viral karena bisa mengonsumsi hingga 40 rokok per hari meskipun waktu itu umurnya baru 2 tahun. Dikatakan bahwa awal mulanya ia diberi rokok oleh orangtuanya adalah agar ia tidak menangis dan mengamuk. Tidakkah terdengar sama seperti orang dewasa yang merokok untuk melepas stres?
Musuh terberat itu adalah diri sendiri
Memasang label "merokok membunuhmu" dengan sepetak gambar mengerikan tak akan cukup membuat seseorang berpaling dari rokok. Karena jelas-jelas salah satu kriteria adiksi adalah "use despite harmful effects". Meskipun tidak menutup kemungkinan edukasi terhadap bahaya rokok juga bisa menyadarkan sebagian pecandu untuk berhenti.
Karena awal mula adiksi ini terbentuk dari mekanisme koping yang maladaptif, maka ketika seseorang memutuskan untuk berhenti merokok, masalah tidak akan selesai sampai ia menemukan mekanisme koping baru. Kegagalan pada hal ini akan membuat seseorang menjadi perokok residif.
Seseorang yang hendak keluar dari belenggu adiksi rokok harus berhadapan dengan musuh terberatnya yaitu diri sendiri. Maka kita sebagai orang-orang yang ada disekitarnya harus memberikan dukungan baginya untuk meninggalkan rokok. Kita sebaiknya tidak menghakimi, mungkin mereka juga sedang kesulitan melawan diri sendiri untuk keluar dari adiksi itu.
Begitu juga bagi yang telah terlanjur menjadi perokok, jagalah kesehatan orang-orang yang ada di sekitar agar tidak ikut menghisap asap rokok. Bayangkan penyakit-penyakit mengerikan yang tergambar di kotak rokok itu menyerang orang-orang di sekitar yang tidak bersalah, atau bahkan keluarga sendiri yang sangat disayangi.
Berusahalah sekuat tenaga keluar dari belenggu bernama adiksi rokok. Jangan ragu untuk meminta bantuan orang-orang terdekat serta bantuan ahli. Pertolongan ini akan membantu untuk menghindari kondisi berisiko tinggi yang mencetuskan pecandu untuk kembali merokok, menghindari orang, tempat, dan benda yang mencetuskan aktivitas ini. Serta yang terpenting yaitu mengembangkan kemampuan relaksasi dan manajemen stres, membentuk mekanisme koping dan perilaku yang baru.
Mengubah dunia itu dimulai dari mengubah diri sendiri dan orang-orang terdekat
Mulailah melihat ada apa di balik adiksi itu. Keluar dari suatu adiksi memang sulit. Namun sebenarnya, sulit itu artinya bisa, hanya butuh usaha lebih.
Tidak bermaksud menggurui, hanya berbagi. Semoga bermanfaat.
Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H