Sentimentalitas dan indoktrinasi.
Sentimen kebencian juga bisa menjadi bahan bakar dari eskalasi gerakan terorisme. Kekecewaan pada berbagai sistem kehidupan sosial dan bernegara terutama sosiopolitik, hukum, ekonomi, dan sebagainya dapat menjadi induk yang melahirkan usaha untuk melakukan teror terhadap pihak yang dianggap bertanggungjawab dan bermanifes dalam gerakan individu maupun kelompok.
Dominasi psikologis dari kelompok yang memiliki superioritas dalam hal otoritas dan kemampuan intelektual juga dilakukan kepada orang-orang yang lemah secara psikologis dan ideologis. Alterasi ideologi ini dilakukan secara psikologis kepada orang-orang yang "di atas" kepada "bawahannya".Â
Pelumpuhan daya pikir ini menyebabkan seseorang rela menjadikan dirinya pelaku bom bunuh diri, yang jelas harganya adalah nyawa dan sangat bertentangan dengan kemanusiaan baik bagi dirinya dan korban dari tindakannya.
Paham kolektivistik, yaitu paham yang membuat seseorang menganggap dirinya adalah bagian dari "sesuatu yang besar" juga membuat seseorang cenderung lebih "rela berkorban" demi apa yang dijunjungnya. Demikian pula kondisi pelaku yang telah menganggap dirinya telah berjasa besar dengan mengorbankan dirinya untuk suatu tindakan bom bunuh diri.
Damai Indonesiaku.
Konstruksi sosial terorisme di media terkadang membuat perselisihan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun hal yang selalu perlu diingat adalah bahwa tidak ada satu agama, paham, atau ajaran apapun yang membenarkan aksi terorisme.Â
Terorisme tidak dapat dibenarkan baik dari sisi agama, hukum, dan sosial. Jangan biarkan aksi terorisme memecah kesatuan umat beragama dan kesatuan negara ini. Semoga bermanfaat.
Salam kompasiana.
**
Tautan referensi: American Psychological Association (1), American Psychological Association (2), Media Indonesia