politik di Indonesia lebih didominasi oleh laki-laki atau biasa disebut maskulinitas. Pembuat kebijakan-kebijakan yang selama ini banyak dikenal oleh masyarakat pun mayoritas diisi oleh kalangan laki-laki. Laki-laki lebih dinilai dominan dalam aspek-aspek kepentingan publik, sementara masalah-masalah publik yang timbul lebih didominasi oleh wajah-wajah perempuan. Hal tersebut merupakan sebuah ketimpangan yang terasa sangat nyata. Afirmative action 30% yang diberikan kepada perempuan untuk menjadi bagian di parlemen merupakan hal yang dirasa kurang. Negara sudah memfasilitasi perempuan untuk ikut andil dalam menyuarakan aspirasi dengan afirmative action sebanyak 30%, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah adanya partai politik yang tidak mengimplementasikan hal tersebut. Konstitusi UUD RI 1945 dan UU tentang Pemilu telah mengatur adanya keterlibatan perempuan dalam parlemen dan pemilu, namun yang memiliki otonomi organisasi untuk melakukan pencalonan anggota legislatif adalah partai politik. Partai politik masih belum sepenuhnya serius mencalonkan perempuan sebagai caleg (calon anggora legislatif). Banyak partai politik yang mengajukan calon anggota parlemen wanita hanya sebagai prasyarat saja, namun tidak benar-benar memberikan dukungan yang cukup. Partai politik merupakan sebuah pintu bagi perempuan untuk memasuki dunia parlemen dalam pengambilan keputusan. Namun realitasnya, terjadi adanya ketidakadilan dalam pelaksanaannya. Dalam studi yang telah dilakukan ditemukan fakta bahwa politisi perempuan yang berhasil duduk di atas kursi parlemen merupakan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan, perempuan yang memilik modal perekonomian yang cukup, atau perempuan yang memiliki popularitas tinggi. Hal tersebut memberikan sebuah gambaran bahwasanya tidak semua perempuan dapat dengan mudah hadir ke dalam kursi parlemen.
DuniaPenyelenggaraan pemilu di tahun 2024 ini kurang melibatkan perempuan di dalamnya. Penurunan jumlah calon legislatif perempuan membuat KPU Bawaslu sebagai lembaga yang memegang kendali dalam politik pemilu, dinilai masih kurang dalam menampilkan wajah-wajah perempuan dalam susunan pengurusnya. Beberapa argumen mengatakan bahwa penyebab dari rendahnya keterwakilan perempuan dari lembaga pemilu yaitu karena rendahnya tingkat pendaftar perempuan dalam lembaga tersebut. Namun setelah diteliti lebih lanjut, rendahnya pendaftar tersebut pun bersumber dari mekanisme pencalonan yang informasinya kurang merata dan adanya pikiran male dominated atau yang akan menang nantinya juga pasti laki-laki. Sistem seleksi yang kurang inklusif menjadi pokok utama yang menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga pemilu. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) terus memperjuangkan adanya afirmative action 30% untuk mendukung perempuan bergabung dalam dunia parlemen sebagai pembuat kebijakan, pelaku pengawasan dan pembuat anggaran. Selain itu, KPI juga terus mendorong adanya perubahan yang dilakukan oleh perempuan dalam tingkat terkecil politik seperti pada desa-desa.
Koalisi Perempuan Indonesia merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Govermental Organization yang bergerak dalam bidang kesetaraan gender dan demokrasi. Asas dari organisasi ini adalah kesetaraan gender dan keadilan gender. KPI memiliki tujuan untuk memperjuangkan terpenuhinya hak perempuan di bidang politik, ekonomi, hukum, seksual, reproduksi, pendidikan, agama, serta budaya. Perjuangann demokratis dan keterwakilan perempuan dalam kepentingan publik perlu diperjuangkan dengan lebih profesional, maka dari itu Koalisi Perempuan Indonesia hadir untuk mendukung hal-hal tersebut. KPI mendukung adanya afirmative action untuk perempuan-perempuan Indonesia untuk ikut terlibat dalam parlemen yang ada di Indonesia. Salah satu kegiatan nyata yang dilakukan yaitu oleh KPI Cabang Jember yang melakukan sosialisasi pemilu kepada para warga untuk mewujudkan adanya demokrasi yang berkeadilan gender dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pemilu yang jujur dan berkeadilan gender. Perjuangan yang dilakukan KPI dari berbagai cabang di daerah merupakan langkah-langkah nyata dalam menyetarakan adanya demokrasi yang berkeadilan gender. Selain memberdayakan perempuan melalui program-program yang ada di cabang-cabang, KPI memiliki fokus utama untuk meningkatkan partisipasi perempuan terutama dalam kursi parlemen sebagai pembuat kebijakan publik. Adanya keterlibatan perempuan dalam dunia parlemen diharapkan mampu memberikan perubahan bagi ketidakadilan gender yang masih sering terjadi. Memberdayakan perempuan dalam partai politik merupakan langkah awal dalam mendorong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam dunia politik dan parlemen.
Partisipasi perempuan dalam politik dan parlemen tentu saja membutuhkan dukungan dari bebagai pihak. Pada tingkat terkecil, keluarga menjadi hal yang sangat berpengaruh dalam keberlanjutan keterlibatan perempuan dalam politik. Pada wawancara yang dilakukan pada politisi perempuan, keluarga memegang kendali yang sangat besar. Dalam skala yang lebih luas, dorongan yang dapat memberikan dampak besar bagi perempuan berasal dari masyarakat sipil dan penyelenggara. Masyarakat sipil yang dimaksud yaitu para akademisi kampus, aktivis organisasi, dan para NGO. Masyarakat dapat menjadi aktor utama yang menciptakan enabling condition atau kondisi yang memungkinkan perempuan-perempuan untuk maju dalam politik. Meskipun pemerintah telah memberikan afirmative action, namun keterpilihan perempuan dalam lembaga legislatif diserahkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan pemerintahan. Sedangkan peran penyelenggara pemilu yaitu dapat memberikan edukasi politik kepada para pemilih. KPU dan Bawaslu lebih dominan melakukan pendidikan untuk pemilih dibandingkan pendidikan pemilu dan demokrasi. Dengan kapabilitas yang dimiliki sebagai lembaga inklusif, KPU dan Bawaslu dapat melakukan program-program untuk melibatkan partisipasi perempuan dengan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga perempuan. Pemerintah memiliki andil yang besar dalam pemberdayaan dan keterwakilan perempuan. Adanya peningkatan kapasitas perempuan dalam lembaga legislatif merupakan suatu 'angin segar' bagi perpolitikan di Indonesia. Pemberian afirmative action telat membuat eksistensi perempuan semakin terlihat dari tahun ke tahun. Namun masih diperlukan peningkatan dan perbaikan lagi agar perempuan menjadi lebih 'berani' dalam menunjukan eksistensi yang dimiliki dalam dunia parlemen. Kolaborasi dan kerja sama dari berbagai pihak pun perlu dilakukan agar tingkat keterwakilan perempuan dalam pemilu dan politik dapat lebih meningkat lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H