Menurut pakar linguistik Universitas Indonesia, Bernadette Kushartanti, fenomena bahasa ini merupakan sebuah resiko dari adanya kontak bahasa. Beliau berkata, “Hal ini memang tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Korea, bahasa gaul,
dan macam-macam bahasa lain yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari.” Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa hal ini bukanlah sebuah ancaman yang mengkhawatirkan. Penggunaan kalimat yang melibatkan lebih dari satu bahasa merupakan sesuatu yang wajar dan sudah biasa terjadi dalam dunia linguistik.
Bahasa gaul tidak selalu berupa penambahan kata dalam bahasa asing, namun juga bahasa gaul lainnya seperti bahasa gaul kekinian. Bahasa gaul kekinian bentukannya lebih luas lagi. Kemuculan bahasa gaul kekinian lebih bervariatif karena kata-katanya diciptakan dari penalaran masyarakat tersendiri.
Kebanyakan kata-katanya didasarkan dari kata asli yang dibalik, dua kata yang disingkat, dan bentuk lainnya yang muncul entah darimana. Contoh kata-kata nya seperti “kuy”, “gercep”, “bosque”, dan masih banyak lagi kata-kata gaul di kalangan remaja.
Fenomena ini terjadi karena adanya faktor jarak kekuasaan atau dalam istilah komunikasi dikenal dengan power distance. Budaya dan masyarakat Indonesia menganggap bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih tinggi sehingga penggunaan bahasa Inggris di dalam bahasa Indonesia dianggap bisa mengangkat derajat seseorang yang memakainya. Selain itu, mencampur bahasa juga merupakan lambang hierarki yang mewujudkan status sosial, pendidikan, dan kehormatan.
Sebenarnya bukan anak Jakarta Selatan saja yang gemar mencampur bahasa, namun karena wilayah Jakarta Selatan dikenal banyak diisi oleh kelompok masyarakat dengan kondisi perekonomiannya yang tinggi, sehingga bahasa campuran ini lebih identik dengan bahasanya anak-anak yang berada di wilayah Jakarta Selatan.
Dan begitulah penggunaan bahasa Indonesia pada saat ini. Menggunakan bahasa gaul bukanlah sebuah pemberontakan linguistik, namun merupakan sebuah akulturasi linguistik. Namun jangan lupakan tata krama bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai perwujudan tindakan kita dalam melestarikan budaya Indonesia yang sesungguhnya.
Sumber Referensi: