Pada umumnya orang Jepang tidak tahu akan Islam, lebih tepatnya tidak mau tahu akan kebenaran Islam. Hal ini disebabkan karena orang Jepang memegang budaya mereka dengan kukuh. Banyak orang Jepang yang menilai Islam bukan terhadap Islam itu sendiri, namun menilai Islam dari tingkah laku para pemeluknya, misalnya dengan adanya peristiwa terorisme oleh kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam Atau (ISIS), mengakibatkan menurunnya citra Islam.Â
Masyarakat Jepang pada umumnya menaruh perhatian pada Islam bukan saja karena citra Islam yang terlanjur buruk di mata masyarakat Jepang. tetapi keseharian masyarakat Jepang sendiri sangat bertolak belakang dengan Islam seperti, orang Jepang terbiasa minum sake sementara Islam mengharamkan alkohol, orang Jepang pun terbiasa menyembah patung atau berhala sebagai Tuhannya, sementara Tuhan-nya orang Islam tidak berwujud.Â
Maka tak heran jika perkembangan Islam di Jepang sangat lambat sejak pertama kali kedatangannya pada tahun 1877. Sikap orang Jepang di dalam menyembah dewa-dewa dari agama yang berbeda tanpa perasaan yang bertentangan. Misalnya orang Jepang akan bersembayang di altar agama Budha yang ada di rumah pada pagi hari dan pada sore harinya ia akan pergi bersembahyang ke tempat pemujaan Shinto.
Orang Jepang mempunyai pandangan yang sangat mengacu pada tata nilai budaya dan tidak berpatoka pada agama. Kepercayaan dan pemahaman mereka terhadap agama tidak sama dengan cara berpikir negara lain terhadap agama, karena orang Jepang tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang istimewa.Â
Dengan demikian, apabila membicarakan agama orang Jepang, maka pertama-tama harus melepaskan diri dari pengertian istilah agama dalam bahasa Indonesia. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan pribadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan.Â
Nilai-nilai ajaran islam yang diterapkan di Jepang, yaitu; Pertama, menjaga kebersihan juga menjadi salah satu nilai keislaman lain yang orang Jepang praktikkan. Jalanan, gedung, hingga toilet terjaga semua kebersihannya. Mereka juga membedakan sampah ke tiga jenis, setidaknya, yakni dapat dibakar, tidak dapat dibakar, dan botol dan kaleng. Untuk jenis terakhir, mulut tong sampah sengaja dibuat bermulut bundar sebagai tanda.
Kedua, Masyarakat Jepang juga terbiasa berlaku tertib. Kita akan mudah menjumpai orang yang berjajar rapi mengantre. Di kasir toko, misalnya, antrean mengular tak saling serobot. Di stasiun juga demikian, mereka berdiri di belakang garis aman dan berjajar tanpa berebut masuk ke dalam kereta.Â
Ketertiban ini juga sudah kita lakukan sehari-hari dalam shalat. Rukun-rukun dalam shalat tidak boleh didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam berwudhu pun demikian. Tertib bahkan menjadi salah satu fardu wudhu, jika kita merujuk pada kitab Safinatun Naja karya Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami.
Hubungan Jepang dengan Islam pun dimulai pada Periode Meiji. Pada tahun 1890, kapal Kesultanan Utsmani Turki terdampar dalam perjalanan pulang di perairan Kushimoto-cho, Wakayama, akibat terkena badai. Kapal ini merupakan kapal ekspedisi kunjungan balasan perwakilan kekaisaran Jepang yang sebelumnya melakukan kunjungan bilateral ke Turki.Â
Kru kapal yang terdampar ditolong oleh penduduk setempat. Prasasti terkait kejadian ini ada di Wakayama. Pasca Perang Dunia, interaksi antara Jepang dan negara-negara Islam adalah dari bisnis minyak tanah dan meningkatnya pelajar-pelajar asing muslim yang datang ke Jepang. Pada tahun 1980an, jumlah pekerja Iran, Pakistan, dan Banglades meningkat karena memiliki kemudahan untuk masuk ke Jepang.Â
Banyak di antaranya yang menikah dengan warga Jepang, sehingga jumlah mualaf lokal meningkat. Pada tahun 2000an, jumlah masjid di Jepang meningkat tajam. Menurut data tahun 2014, terdapat 80 masjid di Jepang, dengan 3 masjid (tempat ibadah) pertama adalah Masjid Kobe, Tokyo Camii, dan Balai Indonesia (SRIT).