Mohon tunggu...
Salasiah Ammade
Salasiah Ammade Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Parepare

Penulis newbie yang berusaha terus mengembangkan potensi diri dan berbagi cerita lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melepas Zona Nyaman, Membeli Pengalaman Baru

28 Oktober 2024   07:27 Diperbarui: 28 Oktober 2024   08:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Ana di TEFLIN 70th UPI Bandung

Cerita ini terinspirasi dari pengalaman teman guru hebat yang mengikuti seminar internasional pengajaran bahasa Inggris terbesar di Indonesia, TEFLIN Conference. Konferensi tahunan ini di lakukan di daerah yang berbeda-beda. Tahun lalu kegiatan ini dilakukan di Universitas Syiah Kuala, Aceh. Tahun ini di UPI Bandung, dan tahun depan di Universitas Brawijaya, Malang.

Setiap tahun, saya menargetkan mengikuti seminar internasional sebagai presenter, baik di konferensi TEFLIN ataupun di konferensi sejenis sebagai bagian dari penunjang kompetensi dosen. Tahun lalu, walaupun abstrak saya lolos sebagai presenter di TEFLIN ke 69 Aceh, namun tidak berkesempatan ikut dengan beberapa pertimbangan. Saya mengganti target saya dengan mengikuti ASIA TEFL Conference di Seoul, Korea Selatan. Tahun ini, abstrak saya lolos untuk dipresentasikan di TEFLIn Bandung, dengan mengikutkan dua teman lainnya sebagai co-presenter. Salah satu Co-Presenter saya adalah adalah guru sekolah menengah pertama, yang merupakan alumni program studi magister pendidikan Bahasa Inggris kampus kami, Universitas Muhammadiyah Parepare.

Ketika pengumuman lolos abstrak di sampaikan di website dan di email pada bulan Mei,  saya  sampaikan ke teman guru ini, yang saya  penggil 'bu ana', untuk bersiap-siap ke Bandung ikut konferensi yang di selenggarakan tanggal 23-25 Oktober, di UPI Bandung. Saya kirim semua informasi terkait baik Letter of Acceptance, Invitation Letter, Payment Informmation, dan lainnya. Sepertinya, karena ini merupakan pengalaman pertama bagi bu Ana mengikuti konferensi internasional, sehingga dia masih awam dengan segala tetek bengek konferensi, termasuk tenggak waktu pembayaran konferensi sebagai presenter. Lambatnya ibu Ana merespon informasi konferensi ini termasuk pembayaran konferensi membuat ibu Ana akhirnya tidak mempunyai bukti bayar  sebagai presenter, namun namanya tetap masuk di jadwal konferensi dan buku abstrak konferensi.

Kesibukan sebagai guru ternyata menjadi pemicu lambannya ibu Ana merespon kegiatan konnferensi ini, termasuk urusan cuti sekolah yang ternyata harus diurus di depertemen agama karena ibu Ana mengajar di sekolah Madrasah.  Cuti sekolah baru didapat seminggu sebelum konferensi, sehingga bu Ana baru menyetujui keberangkatan ke Bandung beberapa hari sebelum puncak acara. Sayangnya, saya sebagai presenter utama tidak fit karena batuk parah seminggu sebelum puncak acara, yang membuat saya memutuskan untuk tidak ikut konferensi walaupun sudah menuntaskan salah satu kewajiban presenter yaitu melunasi biaya perndaftaran presenter. Sayapun mengabarkan ke ibu Ana ketidakmampuan saya untuk berkegiatan, walaupun sudah terdaftar sebagai presenter di hari ketiga kegiatan seperti yang tertera di jadwal konferensi.

Hal yang tidak saya sangka adalah ibu Ana ternyata tetap memutuskan berangkat ke Bandung bersama suaminya untuk ikut konferensi dengan pertimbangan ingin menimba ilmu dan cuti sudah ditangan. Saya sampai menelpon dan chat berulang kali untuk memastikan rencananya, dan dia menunjukkan bukti keberangkatan ketika sudah di bandara dan mengabari saya titik lokasinya. Ini kali pertama ibu Ana naik pesawat, kali pertama ke Bandung, dan kali pertama ikut konferensi internasional sebagai presenter, luar biasa.

Sebagai presenter utama, kordinasi dengan co-presenter harus rutin dilakukan, dan begitupun kordinasi saya dengan bu Ana ketika tiba di Bandung. Perjalanan yang melelahkan dari Makassar ke Jakarta via udara, lanjut ke Bandung via darat, dengam modal informasi internet, dan informasi orang sekitar tidak menyurutkan ibu Ana untuk langsung ke lokasi konferensi di hari kedua konferensi. Jadwal presentasi kami di hari ketiga, jadi ibu Ana masih ada waktu sehari untuk cek lokasi dan melihat keadaan konferensi. Rupanya, mindset ibu Ana sebagai ibu guru yang tidak sebanding dengan dosen sempat menyurutkan semangat berkegiatan. Padahal konferensi TEFLIN ini selalu di ikuti oleh semua pengajar bahasa, baik dosen, guru, peneliti bahasa, pemerhati pengajaran bahasa, maupun masyarakat umum. Mungkin karena ini pengalaman pertama, dan melihat langsung suasana konferensi yang didominasi dosen-dosen membuat nyali ibu Ana ciut, namun saya tegaskan bahwa konferensi ini untuk semua kalangan pemerhati pengajaran bahasa. Saya arahkan ibu Ana untuk ikut plenary session, featured speaker session,colloqium session, dan paralel session untuk penguatan mindset dan pengayaan keilmuan pengajaran bahasa. Alhamdulillah, belum cukup sejam ibu Ana ikut Colloqium session yang di bawakan oleh pak Willy Renandya, dosen National Institute of Education, Nanyang Technological University, Singapore,Semangat ibu Ana sudah terpacu  mengabari kalau dia sangat beruntung ikut kegiatan ini, dan berencana ikut konferensi lagi di waktu mendatang.

Sebelum hari presentasi kami, saya membekali ibu Ana materi singkat presentasi, trik berbicara dan menjawab pertanyaan, dan tips menguasai keadaan terutama mengatasi kegugupan berpresentasi.  Saya stand-by menunggu telpon ibu Ana di hari presentasi karena penasaran dengan pengalaman pertama dia menjadi presenter konferensi, apalagi ini di konferensi internasional. Alhamdulillah, ibu Ana menyelesaikan dengan baik presentasi paper kami, dan belajar banyak dari peserta dan presenter lain. Dia mengatakan ini pengalaman yang sangat luar biasa, dan sangat berterimakasih dikutkan konferensi internasional. Bahkan, langsung memutuskan ikut konferensi TEFLIN ke 71 mendatang di Universitas Brawijaya, Malang. Bravo, ibu guru hebat, ini saya sebut ' Melepas zona nyaman, membeli pengalaman baru.

Cerita akhir tulisan ini adalah jangan menjustifikasi diri sendiri, dan merendahkan diri karena profesi. Lingkupilah diri dengan support system yang bagus yang memberi self positive value. Pada dasarnya semua manusia punya kelebihan dan kekurangan, serta tak perlu validasi orang lain untuk bergerak maju mengembangkan kemampuan diri. Cerita ibu Ana adalah salah satu bentuk pembuktian bahwa proses belajar bisa dari mana saja, dan tekad kuat mengembangkan kompetensi bisa terwujud bila kita berani keluar dari zona nyaman untuk membeli pengalaman bernilai. Salut untuk semua kawan guru hebat yang selalu berusaha mengembangkan kompetensi diri dengan mengikuti berbagai kegiatan positif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun