Jumlah perempuan di dunia tahun 2024 diperkirakan 49,5% dari total populasi dunia, namun berdasarkan data dari UN Women, hanya 26% anggota parlemen dunia yang merupakan perempuan. Hal ini mencerminkan rendahnya representasi perempuan di era modern ini, yang tetap menjadi masalah mendasar yang sulit dihapuskan. Perempuan masih menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti menerima upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, diskriminatif sistem seperti sedikitnya perempuan di jurusan STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika), serta minimnya representasi dalam posisi kepemimpinan. Ketimpangan ini dengan jelas mencerminkan bahwa kemajuan tidak selalu berjalan seiring dengan keadilan sosial. Di balik kemodernan dunia, budaya patriarki yang mengakar tetap menjadi penghalang utama yang melanggengkan ketidaksetaraan. Lebih jauh lagi, lemahnya sistem hukum dan kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan memperburuk situasi ini. Meskipun zaman sudah berubah, jika sistem yang menyebabkan ketimpangan kedudukan perempuan masih ada, kesetaraan gender akan masih jauh untuk tercapai.
Salah satu penyebab utama ketimpangan kedudukan perempuan adalah sistem budaya patriarki yang masih mengakar kuat dalam masyarakat. Norma sosial dalam banyak budaya menempatkan perempuan pada posisi subordinat, dimana perempuan seringkali dianggap sebagai pihak yang “lemah” atau “tidak kompeten” dibandingkan laki-laki. Hal ini tercermin dalam pembagian peran tradisional, di mana perempuan cenderung diharapkan untuk berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus urusan domestik, sementara laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah dan pemimpin keluarga. Norma ini membatasi ruang gerak perempuan di luar rumah, dan menghalangi mereka untuk mengembangkan potensi dalam berbagai bidang, terutama dalam karier dan pendidikan. Salah satu contoh nyata dari keberadaan kedudukan perempuan masih kurang adalah minimnya perempuan di jurusan STEM. Menurut laporan dari UNESCO (2017), hanya sekitar 30% dari seluruh peneliti di dunia yang merupakan perempuan, dan mereka sering kali terhambat dalam mengakses peluang yang setara dalam bidang penelitian dan pengembangan teknologi. Penelitian yang dilakukan oleh World Economic Forum juga menunjukkan bahwa stereotip gender masih terlihat dalam pendidikan, di mana banyak masyarakat memandang perempuan sebagai pihak yang lebih cocok untuk bidang sosial dan seni, sedangkan laki-laki dianggap lebih sesuai untuk bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Hal ini menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang STEM, yang mempengaruhi keterampilan mereka dalam pekerjaan yang lebih berpotensi tinggi di masa depan.
Sejauh ini sistem hukum terhadap perempuan belum cukup progresif untuk menjamin kesetaraan dengan laki-laki. Salah satu aspek penting yang menunjukkan hal ini adalah hak properti. Menurut World Bank (2019), di banyak negara, perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal mewarisi atau memiliki properti, yang membatasi kemampuan mereka untuk mandiri secara finansial. Selain kesenjangan dalam hak properti, adaptasi hukum terhadap kebutuhan perempuan modern juga berjalan lambat. Isu-isu penting seperti hak reproduksi dan kesehatan perempuan masih sering diabaikan oleh sistem hukum di banyak negara. Laporan dari Human Rights Watch (2020) menunjukkan bahwa di banyak negara, perempuan masih mengalami kesulitan dalam mengakses hak-hak kesehatan reproduksi mereka. Misalnya, di negara-negara seperti El Salvador, Nikaragua, dan Honduras, di mana aborsi hampir sepenuhnya ilegal dan sangat dibatasi, perempuan tidak hanya menghadapi risiko kesehatan yang serius, tetapi juga ketidakmampuan untuk mengakses layanan medis yang aman. Keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi ini juga berdampak pada partisipasi aktif perempuan dalam angkatan kerja. Ketidakmampuan untuk mengatur kesehatan reproduksi mereka sering kali membatasi perempuan dalam merencanakan masa depan mereka, baik dalam hal pendidikan, karier, maupun kehidupan sosial. Hal ini juga menyoroti bahwa ketidaksetaraan ini tidak hanya merugikan perempuan dari segi kesehatan, tetapi juga berkontribusi pada penurunan kualitas hidup dan peluang ekonomi yang lebih sedikit bagi mereka. Selain itu data menunjukkan bahwa kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan masih sangat signifikan. Di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Jerman, India, Jepang, Inggris, dan Australia perempuan rata-rata hanya menerima 80% dari upah yang diterima laki-laki untuk pekerjaan yang setara. Menurut laporan dari International Labour Organization (ILO), pada 2020, kesenjangan upah global antara laki-laki dan perempuan masih mencapai 20%. Meskipun ada peraturan yang mengatur kesetaraan upah di beberapa negara, implementasinya masih sangat lemah.
Minimnya representasi perempuan dalam parlemen adalah salah satu aspek penting dari ketimpangan kedudukan perempuan yang masih sangat terlihat di dunia modern. Meskipun ada peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, perempuan masih hanya menempati sekitar 26% kursi parlemen dunia menurut IPU (Inter-Parliamentary Union). Hal ini mencerminkan bahwa suara perempuan masih sangat terbatas dalam pengambilan keputusan politik yang mempengaruhi kebijakan publik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Keterbatasan representasi perempuan dalam posisi kepemimpinan politik berdampak langsung pada kebijakan yang tidak sensitif gender misalnya, kebijakan mengenai cuti melahirkan, akses pendidikan perempuan, dan penanggulangan kekerasan berbasis gender sering kali kurang diutamakan. Salah satu contoh nyata ketimpangan kedudukan perempuan di parlemen terlihat dalam Komisi VIII DPR RI 2024-2029, yang membidangi agama, sosial, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak, dipimpin oleh ketua dan empat wakil ketua, semuanya adalah laki-laki. Ketiadaan perempuan dalam kepemimpinan komisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai sensitivitas gender dalam perumusan kebijakan.
Ketimpangan kedudukan perempuan masih bertahan di dunia modern adalah hasil dari sistem budaya patriarki yang mengakar, kesenjangan hukum yang melebar, dan minimnya representasi perempuan dalam kepemimpinan. Meskipun dunia terus berkembang, ketimpangan ini tetap bertahan karena sistem yang tidak mendukung keadilan tidak mengalami perubahan signifikan. Jika isu-isu tidak ditangani dengan serius, kesetaraan gender akan tetap menjadi mimpi yang akan sulit diwujudkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H