Aku merindukanmu, Tuan Musim Gugur. Dan itu menjadikanku Schizophrenic. Kau muncul dalam setiap pikirku. Bersamamu, aku menyadari satu hal. Cinta adalah pertemuan semua kontradiksi. Menyenangkan, sekaligus menyedihkan. Menyembuhkan sekaligus mempedihkan. Pahit dan manis. Tawa dan tangis.
Kadang aku mencarimu, Tuan. Di relung itu. Di renung itu. Di antara makan siang. Di persimpangan. Di antara klakson. Di bawah pohon. Di antara gosip. Di tumpukan arsip. Di helai daun. Di antara lamun. Di tengah kata. Di balik mata. Di antara buku. Di ujung kuku. Di antara lagu. Di sela ragu.
Aku tak berani memanggilmu. Aku tahu aku tidak layak. Meski aku rindu sapa itu. Senyum itu. Sentuhan itu. Kecup itu. Aku merindukanmu. Utuh.
Gelegak ini terlalu besar untuk kutahan sendirian. Terlalu kuat. Kalau kau tak mau membantu untuk meredam, ya sudah. Tapi maukah kau menolongku untuk menghentikan kegilaan ini? Aku merasakannya setiap hari. Sesak. Ingin meneriakkan sesuatu. Pada siapa? Ingin menyanyikan sesuatu. Tapi apa? Ingin menendang sesuatu. Tapi kenapa? Aku tak sabar ingin reinkarnasi dan bersamamu di kehidupan berikutnya. Tapi aku tak ingin mati sekarang.
Musim gugurku, aku ingin melakukan banyak hal bersamamu. Bertaut jemari. Menikmati derai tanjung sore hari. Menulis puisi. Menyesap kopi. Lirikan rahasia. Kecup kecil di antara penat.
Aku tak ingin yang rumit. Aku hanya ingin berbaring berpelukan di bawah selimut putih pagi hari. Dan aku melihat kantung di bawah matamu. Aku mendengar gemerisik rambutmu di leherku. Dan geliatmu menyapu kulit. Dan senyum itu. Tawa itu. Tangis itu. Aku ingin buka selubungmu untuk lihat siapa kau di dalamnya. Aku ingin semua hal manis sederhana itu. Salahkah aku? Jalangkah aku?
Sesekali aku menyerah. Kau lupa aku ada. Sesekali aku berkeras. Tidak mungkin aku hilang. Aku hari terindahmu. Aku binar di matamu. Api yang kau sulut. Luka yang kau gores. Kau tidak lari agar aku lenyap. Kau berpaling hanya untuk menemukanku dalam bentuk yang lain. Kenangan yang lain. Semakin kau bernafas, semakin pedih luka itu. Kau merasakannya? Aku merasakannya. Aku menderita. Aku tak sekedar jatuh cinta.
Bandung, 2005
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H