Aku tak sanggup menatapmu. Aku tak sanggup membayangkan, meski kau tampak peduli namun di balik matamu yang menatapku prihatin, di balik semua sikap dan perhatianmu yang tertuju pada kasusku, ada berjuta hal lain mengaliri sel-selmu dan berebut mengirim sinyal pada otakmu. Kau masih mampu melayani mereka satu per satu. Hari masih pagi. Kau mengalami sarapan yang menyenangkan bersama kekasihmu. Mungkin juga sapa renyah di BB mengulas senyummu dan melantunkan lagu dalam hatimu. Tapi sampai kapan? Aku tak sanggup membayangkan jutaan hal itu tiba-tiba menjadi tak sabar. Ketika profesormu mendadak menjadi sangat menyebalkan karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan menjebak di hadapan seorang pasien. Dan residen seniormu menjatuhkan mental dengan mengatakan bahwa kau tidak lebih baik dari tekniker pinggir jalan. Dan ibumu menelfon hanya untuk menanyakan kabar, namun kau teringat pesannya agar segera menikah. Dan sahabatmu mengajak bakar ayam di vilanya pada malam tahun baru. Dan yang lebih aku tak tak sanggup melihatnya adalah di sana. Di sudut yang paling tenang. Tertutup rimbun kenanganmu akan beberapa lagu melankolis dan bacaan kala senggang. Seseorang dengan binar musim semi. Dengan pelukan yang lebih menjanjikan ketimbang secangkir kopi di ruang ko-ass pada malam piket. Sudahlah. Kau tutup status di tanganmu dan pergilah. Aku akan baik-baik saja. Kalau kau bertanya apa lagi yang kubutuhkan, aku akan jawab:
"Jangan panggil aku dengan nama anakku..."
#RSHS, November 2010. mengenang sapamu, "Ibu Adi...?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H