Mohon tunggu...
Evi Indrawanto
Evi Indrawanto Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menulis agar tak melupakan. http://eviindrawanto.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Lamang Luluik dari Bukittinggi

23 Agustus 2013   17:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:55 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama bulan Ramdhan Lemang terlihat dijual hampir di seluruh penjaja takjil Ibu Kota. Makanan yang terbuat dari beras ketan dan dimasak dalam tabung bambu dengan cara dibakar itu memang nikmat disantap saat berbuka. Bayangkan rasanya yang gurih dimakan bersama tapai ketan hitam. Sungguh rasa lapar langsung berganti dengan nikmat yang menggembirakan. Dalam bahasa Minangkabau Lemang disebut Lamang. Negeri Datuk Maringgih ini memiliki berbagai jenis penganan ini. Disamping lemang bambu ada pula yang disebut Lamang Luluik. Makanan yang sering ditemui dalam upacara adat atau pun kenduri, dipilin dalam daun pisang lalu di kukus dalam dandang. Namun dalam tulisan ini saya takan menterjemahkan Lamang Luluik jadi Lemang Lulut. Seperti kebisaan orang Sumatera Barat yang suka mengiindonesiakan nama-nama daerah mereka. Misalnya Sulik Aie jadi Sulit Air. Penerjemahan nama seperti itu kurang tepat menurut saya. Pemberian nama biasanya berasal dari kondisi atau ciri khas daerah dan punya relevansi sejarah. Dari nama saja kita bisa mengenal masa lalu daerah tersebut. Jadi mengapa  harus dihilangkan ciri khasnya? Dari Taluak Bayua jadi Teluk Bayur? Taluak Bayua tak berkurang nasionalismenya dibanding Teluk Bayur, bukan? Jadi dalam tulisan ini saya tetap menggunakan nama Lamang Luluik, seperti kebiasaan moyang saya di Kanagarian Magek, Bukittinggi, Kabupaten Agam. Kalau lah Lamang bisa diterjamahkan jadi Lemang gak penting amat menerjemahkan Luluik jadi Lulut. Karena ke-2 kata tersebut tak memiliki arti  khusus. Menurut saya, Lamang Luluik ekslusif berasal dari Kanagarian Magek, tempat kelahiran saya. Sudah riset Google namun tak menemukan bahasan Lamang Luluik atau pun Lemang Lulut dalam khasanah makanan khas Minangkabau di luar Kanagarian yang terletak sekitar 15 KM dari kota berhawa sejuk, Bukittinggi. Kalau pun ada mungkin belum ada yang menuliskan. Yang saya temukan hanyalah Lamang Baluo, mirip pembuatannya namun  dari penampilan fisik berbeda dari Lamang Luluik. Lamang Luluik merupakan beras ketan putih yang dimasak bersama santan, digulung daun pisang kemudian dikukus. Di dalamnya diberi unti (isi) berupa kelapa parut yang dibubuhi gula dan vanili.

Membuat Lamang Luluik

Membuat Lamang Luluik memang lebih praktis dari pada Lemang Bambu. Tapi kalau soal rasa tidak kalah juara. Aroma wanginya datang dari pembaruran ketan, santan, kelapa parut dan daun pisang. Dimulai dari merendam beras ketan dengan air bersih selama lebih kurang satu jam. Didihkan santan bersama sedikit garam. Setelah santan mendidih masukan beras, aduk dan tunggu sampai santan habis. Proses ini dalam bahasa Betawi disebut "Diaron" yaitu menanak beras setengah matang sebelum dipindah ke dandang. Untuk isi  (unti) parut kelapa setengah tua, beri gula dan vanili. Ambil daun pisang muda yang sudah dilayukan pada panas mata hari. Tambahkan satu sendok makan ketan aron, ratakan di atas daun, isi tengahnya dengan unti. Gulung daun seperti bentuk pipa lalu kunci ujungnya dengan menekannya ke ujung badan Lamang.

Memakan Lamang Luluik

Lamang Luluik umumnya ditemukan saat kenduri maupun pesta adat. Terlihat pula pada hari raya Idul Fitri atau pun Idul Adha. Di luar peristiwa special itu saya jarang menemukan Lamang Luluik di kampung. Dinikmati bersama pisang dan segelas kopi atau teh. Sungguh bincang-bincang dengan kerabat dan handai-taulan terasa nikmatnya. Akhir kata terimakasih kepada Kemenparekraf lewat Indonesia Travel . Menuliskan ini mengingatkan saya pada kekayaan khasanah makanan daerah sendiri. Hal yang perlu dijaga atau dilestariakan. Kalau bukan kita yang mengapresiasi peninggalan nenek moyang, siapa lagi?

Lamang Luluik, anyone?

@eviindrawanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun