Mohon tunggu...
Evi Indrawanto
Evi Indrawanto Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menulis agar tak melupakan. http://eviindrawanto.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pelabuhan Kuala Stabas - Krui

25 Desember 2012   23:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:03 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Pelabuhan Kuala Stabas"][/caption] Kuala Stabas adalah nama pelabuhan dan desa nelayan yang terletak di Kelurahan Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Selain digunakan tempat berlabuh perahu jugaajang transaksi perdagangan ikan antara nelayan lokal dengan mereka yang datangdari pulau jawa dan Makassar. Pengalaman yang sangat berkesan bahwa kami berkesempatan berkunjung ke Krui dan bermalam disana. Pagi pertama saya disambut hujan rintik yang berlangsung sejak subuh. Guna melihat aktivitas lingkungan sekitar dengan berbekal secangkir teh hangat saya duduk di beranda Hotel Mulia. Terhibur melihat kuntum Kamboja Jepang dan Bougenville  putih yang bermekaran di bawah rinai gerimis. Rupa mereka sesegar udara yang beraroma laut. Belum terlihat orang melintas. Di seberang jalan tampak bangunan tua dengan kondisi compang-camping. Atap, pintu dan tembok belakangnya sudah tak utuh.  Celah itu memperlihatkan bingkai laut di belakangnya. Berkabut namun airnya tampak jelas biru bening. Walau masih gerimis saya memutuskan menyeberangi jalan di muka hotel itu sendirian, meninggalkan suami dan anak-anak yang masih tidur. Penasaran karena kemarin sore saat kami tiba tak memperhatikan pemandangan itu. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Perahu Nelayan Kuala Stabas"]

[/caption]

Disana saya berjumpa dengan hamparan laut, pantai dengan perahu-perahu yang bersandar, kesibukan nelayan, orang bercengkerama di warung dan dermaga, dan anak-anak yang sedang bermain. Seketika merasa  seperti jadi salah satu anak Pevensie dalam seri The Chronicles of Narnia. Petualanan   Lucy dan Edmund Pevensi ke negeri Narnia selalu di mulia dari sebuah pintu dalam lemari. Saya masuk ke Desa Nelayan Kuala Stabas melalui pintu rusak dari sebuah gudang tua Segera balik ke penginapan. Membangunkan suami dan anak-anak dan menceritakan penemuan itu.  Sebelumnya tak seorangpun diantara mereka pernah melihat seperti apa desa nelayan. Tentu saja ini kesempatan baik untuk memulai. Dan memang tak seorangpun keberatan saya angkut ke kampung Kuala Stabas yang masuk lewat gudang rusak milik bekas orang kaya Lampung, seangkatan Pak Ahmad Bakri, ayahnya Abu Rizal.

Mengunjungi suatu daerah, satu-satunya cara untuk mengenal tempat itu dengan cepat adalah  bertanya dan kalau bisa melebur bersama penduduknya. Alhamdulillah saya tak  kesulitan melakukan ini. Apa lagi sekarang lengkap dengan pasukan, jadi PD mendekati kedai dimana bapak-bapak berkumpul. Cuma berbekal salam dan senyum, apapun yang kami tanya  mereka jawab dengan ramah. Suasana langsung melumerkan batas antara orang asing dan penduduk asli. Keterbukaan seperti ini lah yang belum bisa tergantikan dari rakyat Indonesia, satu karakter menguntungkan sekaligus mengkuatirkan, menurut saya Pelabuhan Kuala Stabas di bangun oleh Belanda. Batu pemecah gelombangnya sudah rusak di sana-sini. Berkali sudah di tambal Pemda namun dalam hitungan bulan jejaknya tak tampak lagi. Sementara yang peninggalan Belandatetap setia mengendalikan gelombang agar pantai tak terabrasi dan perahu-perahu aman bersandar di pelabuhan. Walau secara keseluruhan pelabuhan Kuala Stabas tampak menyedihkan, terpaksa sekali lagi saya memoejikan Belanda  . Bayangkan sudah berapa puluh tahun kita merdeka namun Kuala Stabas masih mengandalkan peninggalan mereka. Tertawa atau perlu nangis ya? [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Pemecah Ombak Peninggalan Belanda"]

[/caption] Perbincangan pagi itu berubah jadi pembelajaran yang menyenangkan. Saya jadi tahu bahwa nelayan tidak melaut pada malam hari tapi pagi sehabis shalat subuh. Rupanya lebih mudah menangkap ikan yang baru bangun tidur. Tapi itu untuk jenis ikanberasal dari laut dangkal seperti ekor kuning, kembung dll. Melaut malam hari untuk menangkap ikan besar yang hidup di laut dalam. Malampun haruslah pekat sekali agar ikan-ikan yang akan di jala atau dipancing  tak curiga. Sedang untuk menangkap udang dan cumi-cumi pada malam bulan purnama. Ditempat itu berdiri beberapa koperasi . Koperasi lah yang membeli ikan dari kelompok nelayan lalu melelang atau mendistribusikannya ke pasar di sekitar Lampung atau di bawa ke Jakarta. Sayangnya saya tak sempat menunggu perahu-perahu yang pulang melaut. Biasanya sekitar pukul sebelas hasil tangkapan  baru naik dan di lelang di tempat. Saya membayangkan alangkah serunya melihat ikan-ikan segar  di naikan ke dermaga. Dan pasti sesuatu banget jika berhasil mengabadikan dengan camera. Namun karena hari itu rencanannya langsung balik ke Bandar Lampung sementara masih banyak tempat yang mau dikunjungi  selesai sarapan kami meninggalkan Krui. Salam, Evi Indrawanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun