[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Pelabuhan Kuala Stabas"][/caption] Kuala Stabas adalah nama pelabuhan dan desa nelayan yang terletak di Kelurahan Pasar Krui, Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Selain digunakan tempat berlabuh perahu jugaajang transaksi perdagangan ikan antara nelayan lokal dengan mereka yang datangdari pulau jawa dan Makassar. Pengalaman yang sangat berkesan bahwa kami berkesempatan berkunjung ke Krui dan bermalam disana. Pagi pertama saya disambut hujan rintik yang berlangsung sejak subuh. Guna melihat aktivitas lingkungan sekitar dengan berbekal secangkir teh hangat saya duduk di beranda Hotel Mulia. Terhibur melihat kuntum Kamboja Jepang dan Bougenville putih yang bermekaran di bawah rinai gerimis. Rupa mereka sesegar udara yang beraroma laut. Belum terlihat orang melintas. Di seberang jalan tampak bangunan tua dengan kondisi compang-camping. Atap, pintu dan tembok belakangnya sudah tak utuh. Celah itu memperlihatkan bingkai laut di belakangnya. Berkabut namun airnya tampak jelas biru bening. Walau masih gerimis saya memutuskan menyeberangi jalan di muka hotel itu sendirian, meninggalkan suami dan anak-anak yang masih tidur. Penasaran karena kemarin sore saat kami tiba tak memperhatikan pemandangan itu. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Perahu Nelayan Kuala Stabas"]
Disana saya berjumpa dengan hamparan laut, pantai dengan perahu-perahu yang bersandar, kesibukan nelayan, orang bercengkerama di warung dan dermaga, dan anak-anak yang sedang bermain. Seketika merasa seperti jadi salah satu anak Pevensie dalam seri The Chronicles of Narnia. Petualanan  Lucy dan Edmund Pevensi ke negeri Narnia selalu di mulia dari sebuah pintu dalam lemari. Saya masuk ke Desa Nelayan Kuala Stabas melalui pintu rusak dari sebuah gudang tua Segera balik ke penginapan. Membangunkan suami dan anak-anak dan menceritakan penemuan itu. Sebelumnya tak seorangpun diantara mereka pernah melihat seperti apa desa nelayan. Tentu saja ini kesempatan baik untuk memulai. Dan memang tak seorangpun keberatan saya angkut ke kampung Kuala Stabas yang masuk lewat gudang rusak milik bekas orang kaya Lampung, seangkatan Pak Ahmad Bakri, ayahnya Abu Rizal.
Mengunjungi suatu daerah, satu-satunya cara untuk mengenal tempat itu dengan cepat adalah bertanya dan kalau bisa melebur bersama penduduknya. Alhamdulillah saya tak kesulitan melakukan ini. Apa lagi sekarang lengkap dengan pasukan, jadi PD mendekati kedai dimana bapak-bapak berkumpul. Cuma berbekal salam dan senyum, apapun yang kami tanya mereka jawab dengan ramah. Suasana langsung melumerkan batas antara orang asing dan penduduk asli. Keterbukaan seperti ini lah yang belum bisa tergantikan dari rakyat Indonesia, satu karakter menguntungkan sekaligus mengkuatirkan, menurut saya Pelabuhan Kuala Stabas di bangun oleh Belanda. Batu pemecah gelombangnya sudah rusak di sana-sini. Berkali sudah di tambal Pemda namun dalam hitungan bulan jejaknya tak tampak lagi. Sementara yang peninggalan Belandatetap setia mengendalikan gelombang agar pantai tak terabrasi dan perahu-perahu aman bersandar di pelabuhan. Walau secara keseluruhan pelabuhan Kuala Stabas tampak menyedihkan, terpaksa sekali lagi saya memoejikan Belanda . Bayangkan sudah berapa puluh tahun kita merdeka namun Kuala Stabas masih mengandalkan peninggalan mereka. Tertawa atau perlu nangis ya? [caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="Pemecah Ombak Peninggalan Belanda"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H