Aku melihat Ar di kedai kopi di jalan Kenanga. Ia takbanyak berubah, tetap terlihat menawan dengan cambang dan janggut di wajahnya. Di sampingnya duduk perempuan cantik dengan rambut sebahu. Mereka saling menyentuh dengan senyum yang tidak pernah lepas dari mulut. Terlihat sangat bahagia.Â
Aku meminum kopi hitam tanpa gula yang asapnya masih mengepul ke segala arah dengan pelan-pelan. Mataku takbisa lepas dari sejoli di depanku. Donat toping coklat di depanku sama sekali belum terjamah. Aku kehilangan selera.
Aku berharap Ar tidak menoleh kebelakang dan memergokiku menatapnya. Biarlah ia sibuk berkasih-sayang dengan wanita yang kelihatan begitu memujanya. Cukup aku menjadi masa lalu yang takpernah Ditemuinya lagi di kehidupan sekarang maupun nanti.
Ardana Pramudya---kupanggil Ar. Aku punya buku bersampul biru yang kutulis tentang pria berkulit coklat itu. Ar---lelaki yang kuhapal makanan favoritnya, tempat-tempat yang ia sukai, dan menghafal nama-nama keluarganya.
"Sudah setahun aku mengejarmu, Via," ucapnya lima tahun lalu. Saat masih semester lima di Universitas Gunadarma. Kami sama-sama mengambil jurusan Hukum Perdata.
"Sudah berapa kali aku bilang, Ar. Berhenti mengejarku."
"Tapi, aku mencintaimu, Viana."
"Aku sudah berusia mencintaimu, Ar. Tapi aku tidak bisa. Aku menganggapmu hanya teman."
"Karena Ayi?"
"Ada atau tidaknya Ayi, perasaanku tidak berubah padamu."
Setelah itu, aku tidak lagi menemui Ardana di kampus. Ia hilang bersama daun-daun gugur dibawah terbang oleh angin. Aku hanya menemukan jejak kekecewaannya di selasar kampung. Aku kehilangannya.