Laos, seperti negara negara Indo-China bekas kolonial Perancis lainnya, yaitu Vietnam dan Kamboja, mengalami 'perang saudara' yang panjang. Negara porak poranda, hampir hancur total. Laos masih 'gelap gulita' sampai tahun 1996. Sekarang, pemerintah Laos seperti membalikkan bumi: negara terang benderang, dan bahkan ekspor listrik. Laos adalah negara pengekspor listrik terbesar di Asia!
Rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan tak perlu bayar listrik alias gratis. Produksi listrik over supply, hanya 30 persen dipakai dalam negeri, sisanya yang 70% diekspor. Tahun 2014, Laos mengekspor 2,54 juta kWh listrik ke negara negara tetangga yaitu Myanmar, Vietnam, Thailand dan selatan China.
![Foto-01. Berpose di depan kelenteng, milik keluarga teman, Laos (sumber; dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/13/foto-01-5734ff5326b0bdf70dd3eefb.jpg?t=o&v=770)
Perusahaan listrik Jepang, Kansai Electric Power adalah salah satu investor asing yang tertarik membangun pembangkit listrik di Laos. Pada tahun 2020 nanti, perusahaan Jepang ini akan menghasilkan listrik sebanyak 10 juta kWh. Dengan tambahan 40 pembangkit listrik baru, maka Laos dipastikan sebagai 'power house' listrik terbesar di Asia, dan termasuk yang besar di dunia.
Sekarang, biaya tagihan listrik di Laos termurah di Asia Tenggara (ASEAN) dan 30% lebih murah dibandingkan dengan Jepang. Akibatnya biaya produksi di Laos sangat murah, sehingga pertumbuhan ekonomi beberapa tahun belakang ini di atas 8%, paling rendah 6,5 %. Dari sekarang sampai tahun 2020 nanti pertumbuhan diprediksi sekitar 7,5% per tahun. Bandingkan dengan negara kita yang 'keletihan' untuk mencapai angka pertumbuhan 5%.
Sampai tahun 1996, masih ada ratusan ribu pengungsi Laos di Thailand dan China. Pada tahun 1996 itu pendapatan per kapita Laos cuma AS$ 200 (Rp 2,6 juta) pertahun. Sehingga tercatat sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Sekarang? Pendapatan per kapita Laos sudah U$3,100, meningkat 1500 % (seribu lima ratus persen) dalam tempo hanya 20 tahun.
Ini adalah buah pembangunan dengan strategi yang tepat. Strategi investasi di bidang kelistrikan, bukannya tanpa alasan. Pertama, Laos melimpah dengan sumber daya air (sungai, jeram dan air terjun) untuk dipakai sebagai sumber hydropower stations atau PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air). Kedua, kebutuhan listrik akan meningkat 80% di negara negara ASEAN pada tahun 2035 nanti. Peluang bisnis yang ditangkap oleh pemerintah Laos.
Tak tanggung tanggung, pemerintah membangun pembangkit listrik rata rata 2 juta kWh setahun. Ini setara dengan kapasitas pembangkit listrik dua reaktor nuklir (PLTN). Hampir dipastikan, Laos akan menjadi pemain penting ekonomi, terutama di bidang energi listrik di Asia Tenggara tahun 2035 nanti.
Saat ini saja, kalangan bisnis sudah menikmati murahnya tarif listrik, hanya Rp 900 per-kWh. Hampir 50% lebih murah dibandingkan dengan rekan mereka di Indonesia yang harus membayar tarif listrik sebesar Rp1532 per-kWh, plus 'byar pet' tanpa mengenal waktu.
![Foto-03. Acara keagamaan di Laos (sumber: dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/13/foto-03-5734ffc65a7b61fa2361867f.jpg?t=o&v=770)
Sedangkan industri IT dikembangkan dengan cara mengundang kembali diaspora Laos yang berada di berbagai penjuru dunia. Generasi kedua dan ketiga Laos yang sangat terdidik di Amerika Serikat dan Eropa, diharapkan membawa ilmu dan uang ke tanah leluhurnya.