[caption caption="Suasana hiruk pikuk di tengah kota Amsterdam (sumber: dokpri)"][/caption]Ketika turun dari kereta api, ada orang mendekat, pria berbadan tegap. Kebiasaan di stasiun tanah air, batin saya langsung bilang, “Wah enak juga, ada orang yang mau ambil upah angkat barang…lumayan deh,”
Pria itu menyapa, yang saya tangkap (maklum Bahasa Belanda saya nol) “Van harte welkom om Amsterdam.” Kemudian menawarkan saya apakah saya mau beli “obat” terbang ke surga, Marijuana atau Hashish? Daun ganja batinku.
Sebelum ribut-ribut masalah LGBT dan narkoba, di mata orang Amerika Serikat, Belanda adalah kota freedom and tolerance. Beberapa puluh tahun lalu, Belanda telah mengadopsi hukum yang membebaskan pemakaian daun ganja. Negara pertama mengakui Pekerja Sex Komersil (PSK) sebagai profesi seperti profesi lainnya yang bisa dapat tunjangan sosial dan uang pensiun. Dan termasuk negara pertama yang mengakui perkawinan sama jenis.
Bandingkan dengan Amerika, baru 23 dari 50 negara bagian (states) yang melegalkan pemakaian Marijuana sampai hari ini. Tak semua states membolehkan perkawinan gay/lesbian.
Louisiana, tempat saya tinggal sekarang adalah contoh state yang menolak legalitas ganja dan menolak perkawinan sejenis. Hanya satu negara bagian, yaitu Nevada yang melegalkan PSK, tapi tidak mengakui PSK sebagai profesi.
Aturan Aneh di Amsterdam
[caption caption="Kincir angin di Belanda (sumber: dokpri)"]
Aneh yang lain adalah Marijuana dan Hashish tidak dikategorikan sebagai daun terlarang, tetapi masuk kategori soft drugs yang tidak berbahaya untuk kesehatan.
Boleh memiliki Marijuana dan Hashish 5 grams untuk dipakai sendiri. Kalau kedapatan berlebih, hukumannya satu tahun penjara dan denda sebesar 10 ribu guilders (sekitar Rp 73 juta). Dan individu yang berdagang narkoba dilarang, anehnya, ada ratusan “toko” (sekitar 214 buah) yang menjual daun surga di kota Amsterdam.
Terlepas dari hal aneh yang berkaitan dengan narkoba, saya menyukai Amsterdam untuk beberapa hal: ramai, enak untuk berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lainnya, dan banyak yang berbau Indonesia.
Bagi saya, ada “perayaan” setiap hari di Amsterdam. Di mana mana lautan manusia, dan sepeda yang berseliweran.