Mohon tunggu...
Dema Evida
Dema Evida Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang pengembara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kaisar Telanjang! Jagal Menang di Berlin

18 Februari 2013   04:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:07 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang Kaisar yang sangat berkuasa. Kesenangannya adalah membeli pakaian bagus-bagus dan mahal yang ia pertontonkan kepada orang-orang penting di kerajaannya. Pada suatu ketika Kaisar didatangi oleh designer terkenal yang diminta membuat baju baru untuk Kaisar. Ketika baju baru selesai, Kaisar dengan bangga memperlihatkannya ke depan orang-orang. Sebenarnya baju baru itu tidak ada; Kaisar berjalan kesana-kemari telanjang. Kaisar tidak mau mengakui ketelanjangannya karena tentu akan bikin malu. Lagi pula perancang terkenal itu pasti tidak bisa salah. Orang-orang yang melihatnya juga berpura-pura tidak melihat ketelanjangan itu, malah memuji-muji baju baru kaisar. Seorang anak kecil yang melihat Kaisar kemudian berteriak: “Kaisar kan telanjang!”

Nonton film Jagal (bahasa Inggris: The Act of Killing) karya sutradara Joshua Oppenheimer di Film Festival di Berlin saya jadi teringat dongeng “baju baru kaisar” ciptaan Hans Christian Andersen diatas. Film ini dengan berani menunjukkan tragedi kelam bangsa kita: pembunuhan besar-besaran lebih dari 500.000 orang Indonesia dan juga pemenjaraan jutaan orang  tanpa pengadilan sah. Genocide  dan pelanggaran hak asasi manusia yang selama lebih dari empat dasawarsa tidak dibicarakan secara terbuka di agenda politik dan tidak dipelajari di sekolah. Kekuatan film ini dihargai oleh dua penghaargaan di Berlin hari minggu kemarin: penghaargaan dari para juri dan dipilih penonton sebagai dokumenter terbaik. Para juri memberi alasan mengapa film ini menang.

“Film ini sangat mengganggu jiwa. Fillm ini memaparkan kejahatan pembunuhan besar-besaran di tahun 1965 dan memperlihatkan secara nyata topeng monster kejahatan ini. Luka lama yang dalam dibukakan secara meyakinkan dan juga meyakinkan bahwa pengungkapan kejahatan ini bermanfaat.”

Rekan kompasiana sudah menulis dengan menariknya tentang film ini ditinjau dari aspek bebas berimajinasi dalam memahami sejarah bangsa. Pada kesempatan ini saya membahas dua hal. Pertama, menjelaskan mengapa menurut saya film ini berbobot, baik secara artistik, maupun kekuatannya di dalam  sosial dan politik. Kedua saya akan ajukan beberapa argumentasi mengapa kita, terutama generasi muda, perlu peduli, biarpun itu sudah terjadi hampir lima puluh tahun lalu.

Kekuatan Jagal sebagai karya seni

Film ini dibuka dengan kutipan filosof Prancis terkenal, Voltaire (1694-1778).

Membunuh itu dilarang; makanya pembunuh itu dihukum kecuali kalau pembunuhan itu dilakukan secara besar-besaran dan diiringi oleh tiupan bunyi trompet.”

Pembuka ampuh ini menggambarkan bagaimana Indonesia menjadi ajang kekaisaran dongeng Andersen.  Diperlihatkan di awal film pemandangan indah danau Toba. Perempuan -perempuan cantik dengan berbusana menarik bernari dengan gemah gemulai di alam yang indah. Memang suatu pembuka film yang menarik mata. Bagaikan mimpi. Mimpi ini dihenyakkan ketika secara mendadak kamera memperlihatkan suatu sudut kota Medan yang bobrok, penuh sampah dan kotor. Suatu simbol yang jitu sekali.

Film ini mengikuti seorang algojo Medan, Anwar Congo, yang pada saat 30SPKI meletus bekerja sebagai preman karcis bioskop di Medan. Anwar adalah algojo ke-41 yang diwawancara oleh Joshua. Sebelumnya Joshua mewawancara para korban keluarga pembunuhan, tetapi banyak menemukan kesulitan. Pergantian sudut pandang film dari korban ke pelaku pembunuhan adalah tindakan jenius Joshua. Tidak hanya Joshua mendapat dukungan untuk membuat film dari para pelaku pembunuhan , yang ironisnya bangga dengan tindakan mereka. Juga sudut pandangaan film ini berhasil menceritakan tragedi ini secara meyakinkan dan tragisnya kadang bisa buat tertawa.

Para pelaku pembunuhan, para preman Medan, menyangka bahwa ini film buatan Amerika yang menyanjung kemenangan mereka sehingga mereka dengan suka rela merekonstruksi apa yang mereka lakukan di tahun 1965 itu. Salah satu adegan yang sangat bagus adalah ketika mereka syuting film memperagakan bagaimana Anwar dan kawan-kawannya membunuh habis penduduk Kampung Kolam. Adegan dibuka oleh Mentri Pemuda dan olah raga Sakhyan Asmara

yang memberikan pidato menyemangati. Ketika Anwar dan teman-temannya benar-benar menjadi bersemangat dan membabi buta berteriak teriak “Bunuh PKI”, “Hancurkan semua”, kamera memperlihatkan urat wajah mentri muda itu yang menjadi sedikit kelabakan dan meralat ucapannya bahwa tidak dimaksudkan sampai agresif, namun tetap PKI itu harus dimusnahkan. Adegan yang cukup menyakitkan, di satu pihak, juga sedikit lucu karena upaya sia-sia untuk tampil beradab dalam suatu konteks yang tidak beradab.

Penduduk kampung Kolam diperagakan oleh teman dan keluarga para preman. Adegan ini adalah suatu simulasi bagaimana pembunuhan itu terjadi di kampung itu dan para aktornya sangat menjiwai perannya, baik di pihak pelaku maupun korban. Seperti terjadi benar-benar. Ketika sutradara bilang “cut”, beberapa aktor korban susah kembali menjadi ‘normal’. Seorang anak menangis tak henti-hentinya. Benar-benar suatu keberhasilan Joshua sehingga penonton bisa menghayati pembunuhan atas seluruh isi kampung itu.

Pilihan algojo Anwar itu pilihan yang tepat. Anwar mempunyai kharisma. Ia dengan suatu keluguan secara terbuka  membicarakan masa lampaunya.  Sebagai penonton saya ada simpati dengan Anwar. Keberhasilan Joshua yang tidak hanya memperlihatkan hitam-putih, tetapi juga sosok algojo sebagai manusia itu kompleks. Ketika Joshua ditanya apakah tidak berbahaya bahwa dengan film ini orang akan bersimpati dengan Anwar, Joshua menjawab:

“You cannot have to much empathy for someone” (terjemahan bebas: “Bersimpati itu manusiawi, terhadap siapapun.”)

Joshua menekankan ia berharap dengan film ini akan ada suatu usaha penyembuhan luka bangsa, baik dari pihak korban, maupun pelaku. Dua-duanya adalah korban sejarah hitam In donesia. Pihak korban yang telah kehilangan nyawa, kehilangan keluarga, rumah dan masa depan. Si pelaku juga jadi “korban” karean kehilangan rasa kemanusiaannya dan mungkin ketenangan batin, walaupun harus diakui bahwa para korbanlah yang pada akhirnya lebih menderita.

Kenapa perlu peduli

Ok. Film ini berkualitas dan dapat penghargaan. So what? Apa kita perlu peduli?  Jalan-jalan di mall, hidup enak, liburan ke luar negeri, buat apa mikirin susah-susah. Apalagi kejadian yang sudah terjadi hampir setengah abad lalu. Ngapain teriak-teriak “Kaisar telanjang!” kalau kita sudah dapat hidup enak?

Ya, mengapa peduli? Sepertinya benar kata seorang algojo bernama Adi di film ini. Kejahatan itu relatif; definisinya tergantung dari siapa yang menang. Kalau menang, algojo ini akan jadi pahlawan, dan sebaliknya. Saya jadi teringat hukum rimba, hukum siapa yang kuat dia yang menang yang mendasari teori Charles Darwin. Tetapi apakah kita mau hukum rimba ini berlaku? Si pemenang tentu saja tidak keberatan.

Walaupun begitu, ada bagi  saya alasan kuat mengapa kita perlu peduli. Pertama, pemenang hari ini belum tentu jadi pemenang esok hari. Roda kehidupan berputar, walaupun menurut saya perputaran roda itu sangat lama sekali di Indonesia. Kedua, ada pepatah yang mengatakan bahwa mereka yang melupakan masa lalu akan ditakdirkan untuk mengulangnya.Kekerasan tampaknya sudah menjadi bagian hidup bangsa kita. Kekerasan di Maluku dimulai tahun 1999 sampai 2002, kekerasan di Timor-Timur, kekerasan di Irian Jaya, kerusuhan Mei 1998, adalah contoh-contohnya kekerasan yang terjadi setelah era 1965. Walaupun korban jiwa tidak sebesar di tahun 1965-1966, frekuensinya seperti menunjukkan bahwa bangsa kita tak lepas-lepasnya dari fenomena kekerasan. Mungkin itu bom waktu yang bisa terjadi dimana saja di Indonesia dan siapa saja di Indonesia . Apakah ini kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah ini kita mau?

Argumen ketiga saya pinjam dari Socrates, seorang filsuf besar asal Yunani. Mungkin kita harus mempertanyakan apa artinya menjadi manusia yang baik (what is a good person?), apa artinya hidup yang baik (what is a good life?). Menurut Socrates sebagai manusia kita harus kritis dan mempertanyakan kehidupan. Kalau tidak hidup itu percuma ("the unexamined life is not worth living" ). Hidup bagi Socrates tidak hanya jalan-jalan di mall, liburan ke luar negri, facebook, makan-minum. Dalam hidup manusia harus merenungnkan hal-hal kehidupan, mengaca diri sendiri dengan kritis, membuka pikiran dan berimajinasi bebas.

Argumen terakhir yang saya ajukan adalah ketenangan hati nurani, baik sebagai individu, maupun kolektif / kebangsaan. Akhir film Jagal dengan sangat bagus menggambarkan hal ini. Pada awal film, Anwar dengan bangga menunjukkan tempat dimana ia banyak melakukan pembunuhan. Dimana ia menemukan cara pembunuhan efektif pakai kawat, supaya enggak banyak darah berceceran dan mencegah bau amis. Dimana Anwar memperagakan tarian cha-cha sebagai caranya melupakan semuanya. Di akhir film Anwar kembali ke tempat pembunuhan. Ia tercenung dan kemudian mengeluarkan suara-suara ingin muntah. Tubuhnya terguncang dengan keras oleh karena perasaan ingin muntah. Bagaikan ada perang hebat terjadi di dalam tubuhnya. Anwar kemudian muntah-muntah. Suara kemuntahan itu menggema di bioskop. Rasanya lama sekali.

Itulah keunggulan film ini yang pada akhirnya bertanya kepada Anwar dan juga bangsa Indonesia: bisakah hati nurani kita tenang?

Kepustakaan

Crouch, Harold (April 1973). "Another Look at the Indonesian "Coup"". Indonesia (Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project) 15 (15): 1–20. doi:10.2307/3350791. Diakses pada 18 September 2009.

Elizabeth Fuller Collins. “Indonesia: a violent culture?”. Asian Survey, 2002, 42.4: 582-604.

Andrew Marc Conroe (2012). “Generating History: Violence and the Risks of Remembering for Families of Former Political Prisoners in Post-New Order Indonesia”. A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy (Anthropology and History) in The University of Michigan 2012.

John Rosa, Ayu Ratih, Hilmar Farid (2004). “Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Esai-esai sejarah lisan ”. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)  bekerja sama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Instituut Sejarah Indonesia. Jakarta 2004.

Frank Woolever (2011). Gandhi's List of Social Sins: Lessons in Truth. Dorrance Publishing, 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun