Dulu, saat bayam putih menjadi primadona di pasar, ibu mengubah beberapa petak sawah di belakang rumah kami menjadi kebun bayam. Saat tiba musim panen, ibu mengerahkan pasukan dengan formasi lengkap: Ibu, saya, kakak dan ayah, untuk terjun ke sawah. Jika ayah dan ibu bertugas mencabut bayam dari pagi hingga menjelang sore, maka saya dan kakak kebagian jatah mengikat bayam menjadi ikatan- ikatan kecil sepulangnya kami dari sekolah. Ketika matahari mulai condong ke barat, kami beramai- ramai mengikat bayam menjadi bundelan yang lebih besar dan mencelupkannya di dalam air agar tetap segar untuk dijual ke pasar esok dini hari.
Dini hari disaat kami masih terlelap tidur, ibu dan ayah telah bangun dan mulai sibuk mempersiapkan dagangan ke pasar. Suara bayam yang dimasukkan ke dalam karung dan motor yang dipanaskan menjadi ritual harian yang memecah kesunyian malam di kampung kami. Sepulangnya dari pasar, ibu akan membangunkan saya dan kakak untuk diajak menikmati jajanan pasar dengan secangkir teh dan kopi hangat. Pukul tiga dini hari, dengan mata yang masih separuh terpejam, mulut saya dengan lahap memasukkan jajanan ke dalam perut. Kami berbincang hangat hingga ayam mulai berkokok dan adzan subuh mendayu dari surau sebelah rumah. Begitulah kehidupan rumah tangga kami, sederhana namun tak pernah lupa mensyukuri bahagia.
Saya ingat benar, bayam putih produk sawah kami benar- benar menjadi fenomena satu kampung. Bagaimana tidak, jika mayoritas bayam yang ditanam petani lain hanya bisa mencapai tinggi 20-30 cm, bayam kami mampu menjulang hingga 60-70 cm. Tidak ada pupuk khusus maupun mantra tertentu yang kami bubuhkan, tapi dengan sendirinya bayam kami meroket menjauhi bumi. Tak ayal, rumput- rumput pun ikut tumbuh lebat dan tinggi menyaingi inangnya. Saat kami kelelahan, rumput- rumput lebat itu sangat nyaman untuk dijadikan tempat istirahat. Saya acap kali menghempaskan tubuh yang sudah kecapaian di atas belain rumput dan menikmati langit dengan gelitik sejuk angin sawah.
Bayam telah menjadi bagian dari sejarah penting kehidupan keluarga kami. Saat harga meroket, kedatangan ibu dan bayamnya menjadi rebutan pedagang dan berkarung- karung bayam kami akan ludes dalam waktu sekejap. Namun jika musim hujan datang, tidak jarang ibu pulang disaat matahari mulai mengintip karena harus menjual dagangannya dengan sistem eceran. Beberapa kali, ibu bahkan harus berpindah pasar dan membanting harga dagangannya dengan nilai uang yang tidak masuk akal sekalipun agar tidak ada jualan yang tersisa Membawa pulang dagangan, apalagi sayur segar, itu artinya rugi serugi- ruginya. Bukan hanya capek tenaga, melainkan juga tak akan laku bayam dijual lagi keesokan harinya.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H