Kedudukan wanita lebih rendah dibandingkan pria terjadi di setiap wilayah di dunia ini, salah satu yang paling kentara pernah terjadi di Jepang. Konon, wanita di Jepang hanyalah menjadi budak bagi kaum pria, baik ketika ia dewasa atau saat masih kecil. Wanita Jepang yang telah menikah sering dianggap sebagai "budak" oleh suaminya sendiri. MenurutWeulersse yang dicatut dalam buku Sarinah karya Ir.Soekarno, wanita Jepang harus memandang suaminya sebagai "Yang Dipertuan" sementara mereka wajib berhamba padanya dengan segala kehormatannya. Fakta menunjukkan bahwa seorang istri hanyalah seorang pembantu yang berada di rumah dengan segala kesibukan rumah tangga dan juga untuk melahirkan anak. Sementara si suami bebas untuk pergi kemanapun termasuk ke rumah-rumah "joroya" atau "machiya" bersama wanita-wanita penghibur dan geisha-geisha. Bahkan, suami bebas membawa wanita penghibur itu ke rumahnya. Dalam situasi seperti itu, istri tidak memiliki hak untuk menghalangi ataupun menolak, bahkan ia-lah yang harus menyiapkan tempat tidur untuk suami dan wanita penghibur itu. Lebih tragis lagi, istri hanya bisa duduk bersimpuh di depan pintu kamar jikalau sang suami membutuhkannya sewaktu-waktu saat bersama wanita penghibur di kamar. Ketika peristiwa itu terjadi, istri juga tidak diperbolehkan untuk merutuk atau pun mengatakan itu pada siapapun. Pada dasarnya, wanita-wanita jepang yang telah menikah haruslah menjadi seorang istri yang "manut" pada suami karena akan menjadi penghinaan yang sangat besar jika ia sampai dipulangkan ke rumah orang tuanya. Di dalam hierarki masyarakat Jepang saat itu, pria adalah sentral yang menguasai segalanya, sementara wanita hanyalah menjadi pengikut yang patuh. Semasa kecil, anak perempuan harus patuh pada ayahnya, kemudian saat menjadi istri, ia harus patuh pada suaminya, dan ketika tua, ia pun harus patuh pada anak laki-lakinya. Betapa ketidakadilan sangat tampak dalam peranan wanita di masyarakat. Fakta berikutnya menunjukkan bahwa banyak orang tua pada masa itu yang menjual anak-anak gadisnya pada germo untuk dijadikan geisha atau wanita penghibur. Dan, ketika keputusan itu telah dibuat ayahnya, tidak ada penolakan bahkan perlawanan dari si anak perempuan (Tentunya, kita bisa melihat gambarannya dalam film Geisha). Kenyataan yang sangat menyedihkan dari wanita Jepang ini sangat kontras dengan betapa masyarakat Jepang menjunjung tinggi kebudayaannya. Hal ini yang kemudian membuat Ir.Soekarno menulis sebagai berikut tentang wanita Jepang: "Ada tiga jenis nasib wanita Jepang: dinikah orang, atau tidak dinikah orang, atau dibeli orang dan dijadikan bunga. Dinikah orang berarti penghambaan yang berat; tidak dinikah orang berarti kehinaan seumur hidup; dibeli orang dan menjadi bunga joroya atau geisha berarti kesengsaraan puluhan tahun." Namun, saat ini telah terbit matahari bagi wanita - wanita di Jepang. Berawal dari terjadinya resesi ekonomi di Jepang setelah perang dunia II, wanita-wanita di Jepang mulai bekerja karena harus menambah pendapatan rumah tangga. Mereka juga mulai melakukan penolakan terhadap omiai (tradisi menikah dengan pengaturan orang tua/perjodohan) dan memilih untuk menjadi wanita karir yang menentukan sendiri pernikahan mereka. Meskipun begitu, perjuangan persamaan gender tidak pernah berjalan mudah di berbagai negara, termasuk Jepang. Jumlah kursi legislatif untuk wanita juga masih sangat sedikit jika dibandingkan Amerika Serikat. Selain itu, pengontrolan jumlah kelahiran melalui alat kontrasepsi juga masih mendapatkan beberapa pertentangan dari pihak-pihak yang masih ingin mempertahankan tradisi lama. Namun, beberapa langkah masih bisa dilakukan untuk meraih apa yang disebut Persamaan Gender. Pertanyaan selanjutnya adalah, seperti apakah bentuk persamaan gender yang benar-benar adil bagi pihak pria dan wanita itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H