Baru-baru ini, media sosial diramaikan dengan fenomena peserta didik yang memamerkan perilaku self-harm karena perilaku tersebut menjadi sebuah "tren". Dilansir dari rri.co.id (2023), media sosial dihebohkan dengan aksi puluhan pelajar SMP di sejumlah daerah yang melukai dirinya dengan benda-benda tajam. Sebanyak 52 pelajar sebuah SMP di Kabupaten Bengkulu Utara, secara massal melukai tangannya sendiri. Sementara di salah satu sekolah di Karangasem, Bali tercatat terdapat 49 siswa menjadi korban self-harm. Korban rata-rata berjenis kelamin perempuan, di mana 40 anak melakukan satu kali sayatan, sedangkan sembilan lainnya melakukan sayatan secara berulang.
Pelajar yang berada dalam usia remaja lebih rentan untuk melakukan self-harm. Hal ini dikarenakan, masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini diawali ketika individu mengalami pubertas atau kematangan seksual dengan ditandai oleh perubahan atau peralihan baik dalam aspek hormonal, aspek kognitif, aspek fisik, maupun aspek psikososial (Santrock, 2009; dalam Thesalonika & Apsari, 2021). Ketika individu tidak mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi seringkali akan mengalami masalah atau konflik. Sehingga, tak jarang individu-individu tersebut mengalami tekanan atau stres. Ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalah dapat menimbulkan emosi negatif, hal inilah yang dapat mendorong mereka untuk melakukan self-harm.
Pernyataan di atas juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan YouGov Omnibus (2019) terhadap 1.018 orang Indonesia, dimana hasilnya menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga penduduk (36,9%) Indonesia pernah melukai diri sendiri. Dua dari lima orang responden pernah melukai diri sendiri dan terutama ditemukan di kalangan anak muda. Fakta ini selaras dengan pernyataan dokter spesialis kesehatan jiwa di RSUD dr. Soetomo, Dr. dr. Yunias Setiawati SpKJ., bahwa dalam seminggu rata-rata sepuluh pasien remaja (rata-rata usia 13-15 tahun) datang dalam kondisi sudah menggores tangan, mencakar, ataupun membenturkan diri ke tembok (Ginanjar, 2019; dalam Thesalonika & Apsari, 2021).
Self-harm sendiri diartikan sebagai perilaku menyakiti diri sendiri atau sebagai tindakan seseorang untuk melukai diri sendiri dengan berbagai cara, biasanya dilakukan untuk mengatasi tekanan mental emosional atau upaya untuk menyalurkan rasa sakit emosional.
Perilaku self-harm dikategorikan ke dalam tiga bentuk berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu (Lestari, 2024):
1. Superficial Self-Mutilation
Jenis ini adalah bentuk perilaku merugikan diri sendiri yang ditandai dengan menyakiti diri sendiri secara  sengaja tanpa ada tujuan untuk bunuh diri. Hal ini dilakukan sebagai bentuk coping, masih termasuk bentuk tindakan yang ringan dan intensitasnya jarang. Tindakan yang dilakukan seperti menggaruk, menarik, atau mencabut rambut, memukul diri sendiri, membakar kulit, atau melukai diri dengan benda tajam.
2. Stereotypic Self-Injury
Jenis ini ditandai dengan menyakiti diri dengan tidak serius karena untuk melepaskan rasa sakit emosional. Termasuk dalam bentuk tindakan dengan tingkat keparahan sedang dan intensitasnya dilakukan berulang. Sering terjadi pada orang yang memiliki autism spectrum disorder, tindakan yang dilakukan seperti membenturkan kepala, menggigit diri sendiri (menggigit jari, bibir, atau anggota tubuh lainnya), menarik atau mencabut rambut, menggaruk.
3. Major Self-Mutilation
Jenis ini ditandai dengan menyakiti diri sendiri dengan serius, parah, dan berbahaya, serta mengakibatkan kerusakan permanen pada tubuh bahkan dapat mengancam nyawa, termasuk bentuk tindakan dengan tingkat keparahan yang parah. Dilakukan dengan perencanaan dan persiapan tidak seperti stereotypic self-injury. Tindakan yang dilakukan seperti memotong bagian tubuh atau melukai mata.