Lin, ketika pertama kali kita bertemu di kampus ketika itu. Tidak butuh waktu lama untuk bisa dekat dengan mu. Aku selalu mengagumi cara mu bercerita, menyukai tawa renyah mu, menyukai caramu bersahabat dengan orang orang, namun aku lebih menyukai hatimu, bagaimana bisa kamu selalu menyebarkan kebahagian untuk orang orang disekitar mu? Bagaimana bisa kamu selalu membuatku tertawa bahkan ketika aku bersedih?
Lin ketika itu aku selalu melihat mu tergesa gesa dan seperti biasa aku selalu melihatmu dari kejauhan, mengagumimu, memperhatikan semua gerak gerikmu, aku selalu tak habis pikir betapa sempurnanya tuhan menciptakanmu.
Lin, mengingatmu seperti mengingat kolat M&M kesukaanmu. Kamu hanya memakan coklat yang berwarna coklat dan memberikan sisanya padaku. Menurut mu, coklat akan terasa coklat jika berwarna coklat. Aku selalu mengingat tentang hal itu.
Lin, aku selalu mengagumimu ketika kamu mengajar anak anak panti tempat dimana kamu berasal dulu, bercanda tawa dengan mereka, mengajari mereka membaca kitab suci, menceritakan tentang kisah kisah para sufi.
Lin, aku salut dengan semangat mu yang selalu menggebu gebu. Bahkan ketika kakimu tak sanggup lagi menopang tubuhmu, ketika satu persatu dari anggota tubuhmu mulai melemah, semanggat itu masih begitu terasa, mengalir lewat semua gerak mu, bercahaya terang melalui matamu yang selalu bersinar.
Lin, ketika saat itu akhirnya kau harus berkusi roda, berat untuk ku untuk melihatmu tetap beraktifitas seperti biasa, bukan kah dokter bilang kau seharusnya beristirahat?
“Hans, kamu tak usah menghawatirkan ku, aku akan baik baik saja, jalan hidupku sudah diaturkan Tuhan dengan sebaik baiknya. Bukankah kewajiban kita hanyalah menjalani takdir kita dengan sebaik baiknya? Hans… aku hanya akan berhenti berjuang ketika Tuhan memanggilku untuk menemui Nya, ketika Ruh ini diambil pemilik nya.” Katamu ketika itu.
Lin, ketika kuungkapkan keinginanku untuk meminangmu, kamu tertawa keras. Menganggap semua yang kuucapkan konyol dan hanya lelucon belaka.
“Hans, jangan bicarakan hal yang tak masuk akal. Aku takut ketika kita menikah, ketika aku tak berkerudung didepanmu, aku hanya akan terlihat menakutkan untukmu. Kamu tahu, rambutku hanya sisa beberapa helai saja, bahkan tubuhku yang kering kerontang ini tak menyisakan lekukan indah, hanya tonjolan tonjolan tulang ditubuhku. Hans… kamu berhak mendapatkan orang lain selain aku” elakmu
Tak tahu kah kau Lin, ketika aku mendengar kata-kata itu, rasa sayang dan cintaku padamu berlipat beratus ratus kali. Melihat ketegaran disetiap perjuangan mu melawan penyakit ganas yang kamu derita bertahun tahun ini.
Lin, keberuntungan terbesarku adalah ketika meyakinkan mu tentang pinangan itu, membuktikan pada orang tua angkatmu bahwa aku akan selalu mencintaimu dan menjagamu sebisaku.
“Hans, jika benar kau mencintaiku, cintailah aku dengan nama Tuhan mu, Cintailah aku karena cintamu pada Nya, dan pinanglah aku dengan syahadat, doa dan keikhlasan.” pintamu
Lin, ketika kamu terbaring di Rumah sakit itu, disaksikan keluarga, anak anak asuh mu, disaksikan dokter dan perawat itu, resmilah aku menjadi imam mu. Menerima hal hal baik dan hal buruk yang akan terjadi pada kita. Tangan mu bergetar saat ku pakaikan cincin itu dijarimu.
Lin, dirumah tepi pantai itu, tempat katamu kau ingin menghabiskan sisa hidupmu. Betapa hati ku selalu behagia bersamamu, melihat matahari tenggelam, berbagi semua waktu yang masih Tuhan berikan untuk kita.