Ilustrasi
(http://hukum.kompasiana.com/2013/06/28/pemerintah-indonesia-mengakui-bintang-kejora-572832.html)
Ketika menjelang tanggal 1 Juli atau 1 Desember, pasti akan banyak berita tentang pengibaran bendera Bintang Kejora. Seperti halnya saat ini, 1 Juli 2014, diberitakan oleh detik.com bahwa 7000 personil Polri disiapkan oleh Kapolda Papua, Irjen Pol Tito Karnavian untuk mencegah pengibaran bendera Bintang Kejora. Selama ini, masyarakat Indonesia, bahkan Papua sekalipun selalu mengartikan bendera Bintang Kejora sebagai “OPM” atau “Separatis”. Sebenarnya hal tersebut tidak bisa disalahkan karena TPN-OPM dan pendukungnya selalu “mendominasi”, kalau tidak mau disebut sebagai, “menguasai secara sepihak” penggunanaan bendera Bintang Kejora sehingga mau tidak mau, bendera Bintang Kejora menjadi identik dengan apa yang dilakukan OPM, dan hal ini lah yang sebenarnya patut disesalkan, karena mengecilkan makna dari simbol Bintang Kejora itu sendiri.
Manusia, dikatakan sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai derajat yang paling tinggi karena memiliki akal budi, yang dengannya manusia memiliki kemampuan berpikir, berdaya cipta, berkarsa dan berkomunikasi dengan berbagai cara termasuk dengan simbol. Oleh karena itu, manusia seringkali disebut animal symbolcium atau binatang pencipta simbol. Simbol merupakan tonggak yang menandai proses belajar umat manusia dan usaha untuk menjaganya agar manusia generasi selanjutnya bisa mengingat pesan yang ingin disampaikan dari simbol tersebut, baik itu berupa gagasan, cita-cita dan konsep, sehingga nilai-nilai dari manusia tidak runtuh oleh zaman.
Bintang Kejora, yang merupakan simbol orang Papua, dapat diartikan sebagai cita-cita leluhur orang-orang di Papua, kepada generasi selanjutnya. Pemaknaan Bintang Kejora melahirkan segudang nama atau sebutan, mulai dari sebutan “Bintang Kejora” “Bintang Fajar”, “Sampari” (bahasa Waropen) “Mak Meser” (Bahasa Biak), Yoniki atau Hiyakhe (bahasa Sentani), “Mo Yali Filen” (Bahasa Yali) , “Bintang Pagi” dan lain sebagainya. Bintang Kejora sendiri mempunyai makna yang begitu dalam, leluhur orang-orang Papua pantai menggunakannya sebagai penunjuk jalan, leluhur orang-orang Papua gunung mengagumi keindahannya. Tapi sayangnya, bintang kejora hanya terlihat di langit yang cerah, di langit yang damai, ketika langit diselimuti awan mendung dan bintang kejora tidak terlihat, menandakan keresahan akan datang, kedamaian akan hilang dan orang-orang Papua akan kehilangan arahnya. Bintang Kejora adalah simbol orang-orang yang tidak tersesat, simbol dari kedamaian.
Perang Sipil antara USA dengan CSA
Bicara soal simbol dalam bentuk bendera, saya pernah membaca berita tentang seorang anak keturunan Afro-Amerika yang memajang Confederate Flag atau biasa kita kenal sebagai “rabel flag”. Bendera ini lazim digunakan untuk menghembuskan isu rasisme di Amerika karena merupakan bendera Confederate States of America (CSA) yang mendukung perbudakan ketika civil war pecah di Amerika Serikat. Oleh karena itu, aneh bila seorang keturunan Afro-Amerika yang merupakan keturunan korban perbudakan, memajang bendera yang dikenal merupakan simbol dari perbudakan itu sendiri. Tapi, pemuda itu, Byron Thomas, mengatakan “He Doesn’t See Racism, Just Southern Pride”, ya bendera itu menggambarkan kemauan penduduk wilayah Amerika Serikat bagian Selatan untuk bangkit secara ekonomi, walaupun kemudian diasosiasikan sebagai rasis karena untuk bangkit secara ekonomi, mereka membutuhkan budak. Akhirnya orang lebih mengenal Confederate Flag sebagai simbol rasisme dibanding simbol semangat untuk bangkit dari keterpurukan.
Confederate Flag yang disalahgunakan menjadi simbol Rasisme
(http://www.jessejoyce.com/museum-of-confederate-flags-in-inappropriate-places/)
Kembali ke permasalahan bendera Bintang Kejora, sebagai lambang dari kedamaian dan orang-orang yang tidak tersesat, yang dipermasalahkan pengibarannya oleh aparat keamanan. Saya melihat bahwa bendera ini adalah cita-cita leluhur orang-orang Papua agar Papua seperti bintang Kejora yang dapat terlihat dalam cerah dan damainya langit, tapi sayangnya cita-cita para leluhur tersebut tersamarkan oleh dominasi penggunaan bendera ini oleh pihak-pihak tertentu sehingga makna dari bendera ini pun tersamarkan, bahkan menjadi berbalik 180 derajat, dari simbol kedamaian menjadi simbol yang identik dengan kekerasan, penembakan dan pemberontakan. Bahkan digunakan dalam peringatan ulang tahun organisasi tersebut, seakan simbol ini sudah “dikuasai” oleh organisasi tersebut dan para pendukungnya.
Dan akhirnya…..pesan indah itu pun terselewengkan maknanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H