Setiap negara, pasti memiliki isu sensitif. Jika isu sensitif itu muncul, maka dengan mudahnya banyak kelompok masyarakat dari negara tersebut bereaksi. Ambil contoh Amerika Serikat, yang dianggap sebagai negara demokrasi adidaya, negara ini sangat sensitif bila berbicara tentang perbedaan rasial dan warna kulit. Masih segar diingatan kita konflik rasial antara kelompok African-American (warga kulit hitam) dengan aparat kepolisian di Amerika Serikat yang terjadi sekitar Desember 2014.
Peristiwa tersebut diawali oleh penembakan apparat kepolisan terhadap warga kulit hitam di Fergusson, Missouri. Tidak lama setelah itu, aksi unjuk rasa ketidakpuasan komunitas warga kulit hitam terjadi di berbagai kota besar, ratusan ribu komunitas kulit hitam menggelar aksi unjuk rasa di di Baltimore, New York, Washington dan Boston, serta dengan skala yang lebih kecil di beberapa kota lainnya. Aksi yang pada awalnya damai, menjadi aksi anarkistis. Sejumlah toko, restoran, dan mobil polisi dibakar dan dijarah massa yang telanjur kalap.
Lain di Amerika Serikat, lain di Indonesia, negara kita tercinta. Indonesia, yang merupakan negara demokrasi dengan penganut muslim terbesar di dunia, juga memiliki isu sensitif. Isu perbedaan agama, dan turunannya kerap menjadi isu sensitif di Indonesia. Kita pun sebenarnya sudah mengalami masa-masa buruk terkait isu ini, konflik di Ambon dan Poso menjadi sejarah kelam toleransi keragaman agama di Indonesia. Konflik yang pada awalnya bukan merupakan konflik agama, bisa sangat meningkat eskalasinya menjadi besar ketika orang yang berkonflik diidentifikasikan menurut agama mereka.
Beberapa tahun terakhir, isu perbedaan agama kembali mencuat di Indonesia. Berbagai konflik rumah ibadah di banyak daerah di Indonesia, sampai yang terakhir permasalahan terkait penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahya Purnama (Ahok). Terkhusus pada permasalahan Ahok, begitu sensitifnya isu ini bisa dilihat dari ummat muslim yang berbondong-bondong ke Jakarta. Permasalahan pun bergerak liar, dari permasalahan penistaan Agama, menjadi kasus makar dan penghinaan pribadi. Saat ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah permasalahan ini bisa menjadi lebih besar dan liar lagi lebih dari saat ini? Menurut saya bisa, karena kasus ini membawa nama agama dan isu yang terkait dengan agama merupakan isu yang sangat sensitif di Indonesia.
Di masa lalu kita pernah mengalami konflik agama di Ambon dan Poso. Bila permasalahan ini terus bergulir seperti bola liar, kasus penistaan agama Ahok bisa menjadi awal mula konflik agama, seperti yang pernah terjadi di Ambon dan Poso. Hal yang menjadi pertanyaan adalah, tidak cukupkah konflik agama di Ambon dan Poso bagi kita untuk belajar? Apakah harus ada konflik serupa, yang menewaskan saudara-saudara kita sendiri, baru kita belajar? Haruskah ada konflik agama lainnya sebelum kita sadar bahwa kita harus melakukan sesuatu sebelum konflik agama benar-benar terjadi?
Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilaksanakan untuk menghindari potensi tersebut, antara lain
Kesadaran Bahwa  Agama Merupakan Isu Sensitif
Guillermo O'Donnell, seorang prominent figure dalam ilmu politik di Argentina, mengatakan bahwa langkah pertama dalam merespon adanya isu yang sensitif yang sedang berkembang di tengah-tengah publik adalah dengan mengakui bahwa isu tersebut merpakan isu sensitif.[i] Kita harus mengakui bahwa isu perbedaan agama merupakan isu yang sensitif. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka setiap orang akan berhati-hati bila membicarakan agama lainnya. Harus tercipta norma pada masyarakat untuk berhati-hati membicarakan agama lain, karena walaupun apa yang dibicarakan tidak bermaksud buruk, akan tetapi potensi kesalahpahaman akan selalu ada. Selain itu,para tokoh masyarakat dan tokoh agama harus sadar bahwa permasalahan yang melibatkan perbedaan agama merupakan isu yang sensitif. Jika ada permasalahan yang melibatkan agama, maka selayaknya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama adalah menggunakan pengaruhnya untuk menghimbau masyarakat untuk menahan diri.Â
Unjuk Rasa Bukan Satu-satunya Cara
Belajar dari konflik rasial di Amerika Serikat, aksi unjuk rasa yang pada awalnya merupakan unjuk rasa damai, berubah menjadi unjuk rasa anarkis, yang tidak hanya terjadi di satu kota, tapi meluas hingga kota-kota lain. Walaupun merupakan ciri khas dari demokrasi, tetapi pengerahan massa yang besar bukanlah satu-satunya cara menyampaikan pendapat dalam negara demokrasi seperti Indonesia.
Setiap warga negara Indonesia memiliki wakilnya di badan legislative, DPR. Salah satu tugas dan wewenang DPR yang dijelaskan melalui UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, bahwa salah satu tugas dan wewenang DPR adalah menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat. Penyampaian opini bisa dilakukan dengan bertemu ataupun mengundang mengundang anggota legislatif, dari daerah pemilihan setempat untuk penyampaian pendapat. Sehingga penyampaian pendapat bisa dilakukan tanpa pengerahan massa yang besar, dan berbiaya tinggi, yang berpotensi menimbulkan kericuhan. Â