[caption caption="anglima Angkatan Bersenjata PNG (PNGDF) Brigadir Jenderal Gilbert Toropo (sumber : http://www.jpnn.com)"][/caption]
Sudah hampir 7 bulan sejak saya menulis terakhir di Kompasiana, rumitnya finalisasi penulisan tesis memaksa saya rehat sejenak dari kegiatan menulis di Kompasiana. Dalam 7 bulan tersebut, banyak kejadian-kejadian menarik di Papua yang sangat amat menarik sekali untuk dibahas, dari peristiwa Tolikara, KTT Pacific Island Forum (PIF) sampai permasalahan sandera OPM yang sering dibahasakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Pembahasan permasalahan tersebut secara mendalam menjadi penting, menurut saya, karena kerjadian-kejadian tersebut, bila dapat dicerna dengan baik dan sungguh-sungguh, dapat menjadi jawaban bagi pemerintah Indonesia untuk mensimulasikan rencana pembangunan dan kebijakan-kebijakan baik dalam dan luar negeri dalam upaya penuntasan konflik di Papua.
Look East Policy
Bila berbicara mengenai permasalahan Papua, maka tidak lepas kita harus membahas mengenai upaya diplomasi Indonesia pada Negara-negara kawasan pasifik di timur Indonesia yang sering menggunakan isu Papua sebagai “komoditas” para politikus lokal mereka untuk meraih suara dan simpati rakyat mereka. Sudah beberapa artikel saya tuliskan terkait dengan hal ini.
Beberapa minggu yang lalu, telah diselenggarakannya KTT PIF dimana dalam forum tersebut, Negara-negara pasifik mengakui bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Walaupun hal tersebut dapat dianggap sebagai keberhasilan diplomasi Indonesia, tetapi keberhasilan OPM (dalam hal ini merupakan OPM faksi politik) memasukan isu permasalahan pelanggaran HAM di Papua di konferensi PIF, yang merupakan konferensi terkait ekonomi dan pembangunan, merupakan poin tersendiri bagi usaha diplomasi OPM yang mampu membawa isu Papua ke forum Internasional. Walaupun pada akhirnya, Negara-negara kawasan pasifik tersebut mengakui kedaulatan Indonesia di Papua.
Bila dilihat dari hal tersebut, sudah waktunya pemerintah Indonesia lebih memperhatikan usaha diplomasinya pada Negara-negara di timur Indonesia, atau dalam bahasa saya adalah “Look East Policy”, pembinaan hubungan diplomatik kepada Negara-negara di timur Indonesia mutlak dilakukan untuk menjaga kedaulatan Indonesia, utamanya di Papua. Sebenarnya hal tersebut sudah dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi dalam porsi yang menurut saya belum cukup besar. Presiden Jokowi saya nilai cukup baik dalam usahanya membina hubungan diplomatic dengan Negara-negara pasifik. Mungkin pembaca lupa, tetapi saya ingat betul bahwa tamu pertama yang diterima oleh Jokowi ketika ia diangkat menjadi Presiden RI adalah PM Papua Nugini, Peter O’Neill, bukan Presiden AS, bukan China, bukan Jerman, Rusia atau Jepang. Seperti yang kita tahu, pemerintah Papua Nugini membantu Indonesia sepenuhnya dalam pembebasan kedua sandera WNI yang ditahan oleh OPM di wilayah Papua Nugini. Hal tersebut tidak mungkin bisa terjadi bila hubungan diplomatic antara Indonesia-Papua Nugini buruk. Hubungan yang baik dengan Papua Nugini ini, perlu dilakukan juga dengan Negara-negara lainnya di kawasan Asia Pasifik.
Papua : Konflik Horizontal atau Vertikal?
Peristiwa Tolikara, telah membuka mata rakyat Indonesia, atau paling tidak hal itu yang dikatakan teman sekampus saya, bahwa konflik yang terjadi di Papua tidak hanya konflik vertikal, antara OPM dengan pemerintah Indonesia, tetapi juga konflik horizontal, yaitu konflik antar masyarakat Papua sendiri. Saya yakini, sebagai orang Papua, bahwa permasalahan Tolikara tidak ada hubungannya dengan OPM baik dari faksi politik maupun dari faksi militer, Tolikara adalah murni konflik sosial yang berbau SARA. Pertanyaan yang timbul adalah kenapa, Benny Wenda, salah satu diplomat OPM faksi politik, sampai mengeluarkan statement tentang peristiwa di Tolikara?
We West Papuans have an entirely peaceful, united political struggle for independence.
Our problems are with Indonesia’s illegal occupation of our country, not between Christians or Muslims. My people have always live peacefully side by side with all Papuans of different faiths but the Indonesian police and military have always wanted and always tried to stir up religious conflict to draw the world’s attention away from our freedom struggle. My people will show the world that we will not be provoked and we will continue to stand united and peaceful in our struggle for freedom. We want the free nation of West Papua to be for all Papuans, whatever religion but it is the Indonesian troops, not Papuans who are causing violence to try and divide and rule the country. – Benny Wenda –
Dalam pernyataannya terkait peristiwa Tolikara tersebut, Benny Wenda terlihat mencoba menafikan bahwa ada konflik sosial yang memang terjadi di Papua. Peristiwa Tolikara memang hal yang menyedihkan terjadi di Papua, saya sebagai orang Papua pun kecewa peristiwa Tolikara bisa terjadi. Tetapi, kekecewaan tersebut bukan untuk dinafikan tetapi diselesaikan agar tidak terulang lagi, dan tentu saja Benny Wenda tidak bisa melakukan hal itu, ia berada di luar negeri, bukan di Papua. Bahkan, dalam pernyataannya tentang Tolikara, Benny Wenda sempat memasukan agenda-agenda politiknya. Dalam pernyataan tersebut, tergambar bahwa Benny Wenda menginginkan dunia Internasional mengetahui bahwa Papua tidak memiliki konflik sosial-horizontal, antar elemen-elemen masyarakat Papua. Ia berusaha menunjukan bahwa di Papua hanya memiliki konflik vertikal yaitu antara masyarakat Papua dengan pemerintah Indonesia. Pernyataan ini bukanlah pernyataan perhatian Benny Wenda dengan permasalahan Tolikara, tetapi hanya politisasi peristiwa Tolikara, untuk kepentingan Benny Wenda dan kelompoknya.
Bagaimana Pemerintah Indonesia (seharusnya) Membangun Papua?