[caption id="attachment_352377" align="aligncenter" width="437" caption="Ilustrasi. Ketika sumber daya alam menjadi sumber konflik (http://prienceshrestha.wordpress.com/2012/03/30/325/)"][/caption]
“Hey Indonesiaku, Tanah subur rakyat makmur” salah satu bait dari lirik lagu Enno Lerian, “Semua Ada Di Sini” ketika masih disebut sebagai artis cilik. Ya, Indonesia memang penuh dengan kekayaan alam, kalau Enno bilang tanah Indonesia subur, itu di permukaannya. Sedangkan, jauh di bawah permukaan tanah lebih “subur” lagi. Sebut saja minyak bumi, batu bara, tembaga, emas dan berbagai macam bahan tambang lainnya. Tapi apakah makmur? Untuk kalimat kedua mungkin lagu Enno Lerian yang satu ini butuh di revisi lagi. Keadaan Indonesia, mungkin bila dijelaskan dalam fenomena ekonomi dapat disebut sebagai Paradox Of Plenty. Fenomena ini menjelaskan dimana negara yang kaya akan sumber daya alam malah sulit mengoptimalkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dibandingkan negara yang miskin sumber daya alam.
Istilah Paradox Of Plenty sendiri menurut Terry Lynn Karl muncul secara khusus di negara-negara penghasil minyak bumi.Dalam pertemuan tahunan OPEC di Vienna, Austria pada 2001, Menteri Perminyakan Venezuela Jose Luis Rodriguez juga mengatakan bahwa minyak sejatinya tidak akan membawa suatu negeri menjadi makmur, namun justru menjadi sumber kutukan dan penyebab konflik, istilah terkenal yang ia gunakan ketika itu adalah “efek kotoran setan”. Sumber daya alam, dalam hal ini minyak bumi, bukan menjadi sumber kemakmuran tapi menjadi sumber konflik, sebut saja konflik antara Nigeria Utara dan Selatan. Kawasan utara yang pada umumnya kaya dengan minyak berusaha untuk melepaskan diri dari Nigeria dengan membentuk negara tersendiri.
Walaupun Terry dan Jose Luiz Rodriguez mengkhususkan Paradox Of Plenty pada masalah minyak bumi, tetapi menurut saya bisa juga diterapkan secara umum, dalam arti kata tidak hanya terjadi di negara-negara penghasil minyak bumi saja. Contohnya saja Indonesia yang punya sejuta gudang sumber daya alam yang mestinya menjadi “pemakmur” rakyat, tapi malah menjadi sumber konflik. Siapa yang salah? Dan semua jari, atau mungkin mayoritas, akan menunjuk pemerintah sebagai pihak yang salah.
Pemerintah mungkin bisa disalahkan sebagai aktor utama yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengoptimalisasikan sumber-sumber daya alam yang ada di negaranya, karena pemerintah merupakan pelaksana pembangunan utama di Indonesia. Tapi tidak adil rasanya bila telunjuk hanya terarah ke pemerintah saja.
Pembangunan boleh jadi merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Meskipun pembangunan semestinya menjadi kewajiban pemerintah secara penuh, namun masyarakat pun harus turut serta berpartisipasi secara aktif dalam menyukseskan program-program pembangunan yang dijalankan. Tanpa situasi yang stabil di dalam masyarakat, maka pembangunan pun mustahil dapat dijalankan dengan optimal. Akan tetapi, peran masyarakat dalam proses pembangunan jauh lebih kompleks. Masyarakat tidak hanya sebagai “innocent bystander”, masyarakat, dalam posisi tertentu, seringkali menjadi salah satu faktor penghambat pembangunan tersebut. Hal ini biasanya terkait erat dengan banyaknya kepentingan yang berkembang di dalam masyarakat; mulai dari kepentingan ekonomi, kepentingan politik, hingga bahkan kepentingan kelompok-kelompok agama tertentu.
Ya, sebut saja Papua, kampung saya. Dengan cadangan emas yang melimpah dan alokasi dana dari pemerintah yang juga melimpah, apakah berhasil memakmurkan Papua? Terkadang kita lupa bahwa pembangunan tidak hanya terkait unsur Pemerintah, dana dan wilayah saja, ada unsur masyarakat juga yang patut untuk diperhatikan. Pembangunan di Papua, harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat di sana. Konflik yang terjadi di Papua, entah itu konflik horizontal antar suku yang marak di Papua atau konflik vertikal antara pendukung OPM dengan Pemerintah, harus menjadi titik concern dalam pembangunan di Papua. Mustahil saya kira, bila hanya pemerintah yang bekerja keras dalam pembangunan Papua tapi digembosi oleh masyarakat Papua itu sendiri.
Oleh karena itu, menurut saya, suksesnya pembangunan di Papua dalam beberapa tahun ke depan tidak bisa dihitung oleh jumlah gedung atau nilai-nilai statistik ekonomi yang rumit. Tetapi keikutsertaan masyarakat Papua dalam mendukung pembangunan oleh pemerintah, sehingga masyarakat Papua bukan lagi menjadi faktor penghambat pembangunan tapi menjadi faktor pendukung pembangunan. Jujur saja, transformasi tersebut sangat sulit terjadi, tapi itu satu-satunya jalan dalam pembangunan Papua. Konflik mungkin akan terus terjadi di manapun termasuk Papua, tapi minimal, pengelolaan konflik lewat pendekatan kemanusiaan sangat perlu dilakukan.
Mungkin kita perlu mengingat pesan pendiri negeri ini yang termaktub dalam lirik lagu “Indonesia Raya”, yang berbunyi “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”. Jiwalah yang pertama dibangun, baru kemudian badan. Saya tidak akan senang bila Papua menjadi seperti New York, dimana Spiderman bisa berayun karena padatnya bangunan tinggi nan mewah, saya akan senang bila Papua seperti Kopenhagen, salah satu kota dengan indeks kedamaian tertinggi di dunia.
Schiffrin, Anya (2005) Covering Oil: Panduan Wartawan Meliput Energi dan Pembangunan. New York: Open Society Institute, hal. 29
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H