Kemarin sore, sekembalinya saya dari pertemuan dengan teman-teman asal Papua di kompleks kampus Universitas Indonesia, saya bergegas kembali ke kost saya di sekitar kampus Institut Pertanian Bogor. Sambil menenteng batagor dan es doger titipan teman kost saya yang saya beli di sekitar Stasiun Bogor, agak kerepotan saya mencari kunci kost saya, tidak sabar rasanya ingin membuka laptop dan berselancar di dunia maya. Saya bukan seorang addict yang harus berhubungan dengan teman-teman saya di jejaring sosial, hanya saja dalam perjalanan di KRL Depok-Bogor kemarin, saya sempat membaca tentang perkembangan perjuangan Papua di Vanuatu yang menarik. Tapi karena lambatnya jaringan internet plus lowbat-nya telephone genggam saya, saya tidak sempat membaca berita tersebut. Akhirnya saya harus menderita syndrome ingin tahu sepanjang perjalanan saya sampai ke kost.
Sambil membuka situs tabloidjubi.com saya melihat berita dengan judul Jalan Baru Ke MSG, Kelompok Pembebasan Papua Rencanakan Rekonsiliasi Di Vanuatu. Dalam berita tersebut dikabarkan bahwa Pastur Alain Nafuki diangkat sebagai ketua Komite yang bertugas mengorganisir Konferensi Kelompok-Kelompok Pembebasan Papua di Port Villa, tanggal 27-30 bulan depan. Pemerintah Vanuatu akan mensponsori gerakan Papua merdeka dengan mengundang tiga faksi, yaitu WNPCL (West Papua National Coalition For Liberation), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) dan KNPB (Komite Nasional Papua Barat, yang diklaim juga mewakili FWPC (Free West Papua Campaign) untuk berdamai dan membuat satu organisasi yang baru. Upaya ini adalah bagian dari reaksi ditolaknya aplikasi Papua untuk masuk ke dalam MSG yang disebabkan salah satunya karena WPNCL, yang saat itu menjadi organisasi yang memperjuangkan masuknya Papua dalam keanggotaan MSG, dianggap tidak mewakili rakyat Papua secara keseluruhan.
Andi Ayemiseba dengan Perdana Menteri Vanuatu yang telah digulingkan Moana Carcasses Kalosil
(http://majalahselangkah.com/content/andy-ayamiseba-pengakuan-politik-melanesia-prioritas)
Adu Eksistensi Antar Faksi
Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebenarnya bukanlah satu organisasi, ada belasan faksi dari OPM baik sayap militer maupun sayap politik. Berbagai faksi saling berusaha menunjukan eksistensinya sebagai organisasi yang “paling berjuang” untuk rakyat Papua, sehingga persaingan antar faksi pun kerap terjadi. Bahkan antar organisasi saling menggagalkan upaya organisasi lainnya, demi eksistensi kelompok dan faksinya sendiri, sebut saja sebagai berikut :
- Gagalnya pengajuan aplikasi WPNCL untuk masuknya Papua dalam MSG berawal dari klaim Jacob Rumbiak, yang merupakan tokoh WPNA (West Papua National Authority) dan juga Menteri Luar Negeri NRFPB bahwa WPNCL bukan merupakan wakil dari rakyat Papua. Jacob menyampaikan bahwa NRFB lah yang merupakan wakil sah rakyat Papua, padahal ketika itu Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden NRFPB mendukung WPNCL. Tidak sampai sebulan setelah kegagalan WPNCL tersebut, Jacob Rumbiak dan WPNA mengumumkan keberhasilan WPNA mendirikan kantor di Melbourne, Australia
- Dalam pelaksanaan Pilpres di Papua, antara KNPB dan TPN-OPM sama-sama mengkampanyekan “Boikot Pilpres”. Pimpinan TPN-OPM wilayan Nabire-Paniai, Leo M Yogi mengklaim bahwa keterlambatan Pilpres di 9 distrik adalah hasil dari upaya represif TPN-OPM untuk memboikot pilpres. Kemudian KNPB menyuarakan Boikot Pilpres agar bermartabat dan menjunjung HAM, Viktor Yeimo meyampaikan bahwa rakyat Papua tidak boleh dipaksa untuk memilih juga tidak boleh dipaksa untuk golput.
- Tanggal 1 Desember kerap dirayakan oleh faksi-faksi OPM. Tapi tokoh WPLO (West Papua Liberation Organization), Agustinus Waipon, yang mengaku juga sebagai Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat (NRPB versi Presiden Yance Hembring bukan NRFPB versi Forkorus Yaboisembut) menyampaikan bahwa kemerdekaan Papua adalah 1 Juli 1971 bukan 1 Desember 1961, ia menyampaikan bahwa peringatan 1 Desember adalah sebuah pembohongan politik bagi rakyat Papua. Ia juga menyampaikan bahwa "Kami (NRPB) menyampaikan kepada organisasi sipil yang tergabung dalam perjuangan kelompok-kelompok lain yang tidak punya hak sedikitpun dalam kewenangan untuk membentuk negara atau umumkan pemerintahan, segara bubarkan diri karena tidak mempunya legalitas hukum yang kuat". http://www.karobanews.com/2012/11/agustinus-waipon-hut-opm-1-desember-tak.html
- Dalam Kongres pembentukan WPNA, tanggal 15 Juli 2004 di Wewak, Papua New Guinea yang dihadiri oleh Jacob Rumbiak, Edison Waromi, Stepanus Paigy, Kaliele, Sonny Mosso, Theryanus Yoku, Herman Wanggai dan Jonah Wenda, dalam pertemuan tersebut Jacob Rumbiak menginkan menghapus nama “TPN-OPM” karena OPM dianggap antiproduktif terhadap perjuangan Papua di luar negeri, karena beberapa aktivitas “OPM” melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga rentan dianggap sebagai organisasi terror. Dalam perkembangannya, Goliath Tabuni, sebagai panglima tertinggi TPN-OPM menolak tegas atas pembentukan WPNCLdan WPNA dan meminta kepada tokoh-tokoh OPM yang aktif di WNPCL dan WPNA agar tidak meneruskan perjuangannya karena ia anggap tidak berguna.
- Teryanus Sato, salah satu petinggi TPN-OPM yang mengklaim berpangkat Mayjend menyampaikan terkait kunjungan MSG ke Papua “kami tidak tahu untuk apa mereka datang, dan kami sejak awal tidak kenal apa itu WPNCL, karena representasi bangsa Papua yang sampai hari ini masih berjuang untuk pembebasan bangsa Papua hanya TPN/OPM, tidak ada itu nama WPNCL yang mengemis jadi anggota di MSG, sejak awal kami tiak setuju dengan diplomasi WPNCL itu, kami tetap berjuang dari hutan”. http://wpnla.blogspot.com/2014/01/tanggapan-teryanus-sattolambert-pekikir.html
Babak Baru itu Adalah WPNCL, NRFPB, KNPB vs TPN-OPM dan Faksi Lainnya
Andai pertemuan bulan depan di Vanuatu akan berhasil menyatukan ketiga faksi tersebut, maka kredit terbesar patut diberikan kepada WPNCL yang dikomandoi oleh Andi Ayemiseba, yang pergerakannya memang aktif di Vanuatu. Meningkatnya eksistensi WPNCL akan mendorong faksi-faksi lainnya untuk bergerak, demi menunjukan eksistensinya. Faksi-faksi seperti WPNA, WPLO atau mungkin bahkan faksi-faksi militer akan kembali beraksi. Dari beberapa faksi ini, saya sangat mengkhawatirkan faksi-faksi OPM dari sayap militer. Apalagi melihat sejarah bahwa tokoh-tokoh sayap militer OPM kerap berselisih paham dengan pergerakan WPNCL. Ketika TPN-OPM mempunyai urgensi untuk menunjukan eksistensinya maka perdamaian di Papua akan terganggu, baku tembak antara TNI dan TPN-OPM bukan tidak mungkin akan kembali terjadi, dan lagi-lagi masyarakat Papua lah yang akan menjadi korban utamanya. Korban utama dari nafsu petinggi politik dan militer OPM yang mendambakan eksistensi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H