Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kasus Cita Citata, Gambaran Pandangan Masyarakat Indonesia Terhadap Papua?

17 Februari 2015   02:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 4829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_397405" align="aligncenter" width="616" caption="Pernyataan Maaf Cita Citata (hanya) lewat instagram (Sumber : http://instagram.com/cita_citata/)"][/caption]

"Cantik masih tetap... harus dicantikin mukanya... Nggak kayak Papua, kan?". Ini adalah kalimat yang dikeluarkan seorang pedangdut Indonesia, Cita Citata yang saat ini banyak dibicarakan teman-teman saya, sesama mahasiswa Papua. Entah apa yang dipikirkan pedangdut itu, sampai bisa mengeluarkan perkataan yang sangat memojokan rakyat Indonesia di Papua itu. Sengaja atau tidak, bermaksud baik atau buruk, perkataan itu sudah keluar. Tidak seperti Microsoft Word yang punya “Ctrl + Z” perkataan Cita Citata yang bernada SARA tersebut tidak bisa di-Ctrl+Z-kan. Masyarakat Papua dan rakyat Indonesia yang peduli terhadap Papua sudah mendengar ucapan memojokan tersebut, walaupun Cita Citata sudah mengeluarkan permintaan maaf.

Kecaman terhadap Cita Citata pun mengalir deras. Penyanyi asal Papua, Peter Saparuane menganggap perkataan Cita Citata sebagai penghinaan terhadap tanah kelahirannya, Papua. Ia mengatakan, “kalau warga Papua dengar omongan itu jelas mereka marah. Karena siapa pun itu kalau dihina pasti tidak terima. Malah bisa saja dia (Cita Citata) ditolak warga Papua untuk manggung di sini”. Terkait permintaan maaf Cita lewat Twitter, Komikus Arie Kriting pun mengecam permintaan maaf tersebut, ia mengatakan “"Maaf mbak @cita_citata yang Cantik, kalau bisa neh, minta maaf ya minta maaf aja. Gak usah pake acara mengesankan kita salah paham. Thanx”.

Lebih daripada sekedar mengecam, terkait penyataan kontroversi Cita Citata, Ketua tim kuasa hukum kepala suku Papua Selatan, Deddy J. Syamsudin, mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait ucapan Cita Citata tersebut. Cita dianggap melanggar UU nomor 40 2008 pasal 4, 15, 16 tentang ras dan etnis. Selain itu, Cita juga akan dilaporkan ke Polda Metro Jaya dan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Berlebihankah?

Berbagai kecaman dan pelaporan terhadap perkataan Cita Citata, mungkin dianggap berlebihan oleh sebagian orang. Ivan Gunawan, mengatakan dalam sebuah wawancara terkait pernyataan Cita "Kalau menurut aku enggak ada niatan apa-apa keluar dari statement dia (Cita Citata). Saya berharap bukan sesuatu yang dibesar-besarkan, ekspresi juga enggak beneran. Tapi kita harus hati-hati siapa musuh dan teman, harus berhati-berhati berbicara". Perkataan Ivan ini terlihat bahwa ia memandang permasalahan ini dari sisi Cita Citata, tidak memandang dari sisi orang Papua.

Menurut saya, berbagai kecaman dan pelaporan yang dilakukan terhadap perkataan Cita Citata ini tidak berlebihan, bahkan perlu dilakukan. Kenapa? Karena permasalahan seperti ini, statemen salah bicara bernada SARA yang melecehkan kebudayaan orang Papua sering muncul. Sebut saja Kasus Mahasiswa ITB jurusan kimia yang bernama Dzulkiflry Imadul Bilad yang terjadi sekitar Mei 2010. Ia menulis dalam akun twitternya setelah pertandingan Persib vs Persipura, tangal 3 Mei 2010 “Dasar orang papua, bisanya tarkam, pake otot bukan pake otak maen bolanya, ga sekolah, bodo2 semua, udah item idup lagi. Sialan lu Papua!”.

[caption id="attachment_397406" align="aligncenter" width="512" caption="Statemen Dzulkiflry Imadul Bilad yang berbau SARA (Sumber : http://taufiqii.blogspot.com/)"]

14240899211433539005
14240899211433539005
[/caption]

Kasus lain terjadi tahun lalu, Rachmad Suprianggono mahasiswa jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dengan menggunakan akun facebook bernama Alex Fahutan 46 memposting gambar seorang bapak Papua yang berbusana koteka berdiri didepan kotak suara pemilihan legislatif. Gambar tersebut bukan masalah, namun kolom komentar itu bertuliskan “Ingat saya sudah coblos ko, nanti kalo Papua tra maju, ko pung Mata saya coblos pake koteka”.

[caption id="attachment_397407" align="aligncenter" width="312" caption="Postingan Rachmad Suprianggono (Sumber : http://info-amp-bogor.blogspot.com/)"]

1424090078491105225
1424090078491105225
[/caption]

Bhineka Tunggal Ika, tinggal nama?

Kasus-kasus di atas, adalah penggambaran nyata bagaimana rakyat Indonesia, berpendidikan atau tidak, kurang memahami makna Bhineka Tunggal Ika. Tulisan yang tertulis di bawah Garuda itu hanya tingal tulisan saja tanpa makna. Indonesia merupakan negara dengan berbagai etnis, agama dan budaya, manusia terikat terhadap identitas etnis agama dan budayanya. Pelecehan terhadap etnis, agama atau budaya tertentu dapat dianggap pelecehan terhadap individu. Indonesia adalah negara yang begitu “Bhineka” dan yang membuat kita “Tunggal Ika” adalah toleransi antar satu budaya, agama atau etnis dengan yang lain. Perkataan Cita Citata ini bisa memperburuk usaha penyelesaian konflik di Papua oleh pemerintah Indonesia saat ini.

Saya tidak begitu mengenal Cita Citata, saya juga tidak memiliki kebencian terhadapnya secara pribadi. Tetapi saat ini ketika sebuah iklan jamu tolak angin yang dibintangi Cita Citata muncul di Televisi tidak sengaja saya liat, kata-kata Cita langsung terbesit di pikiran saya "Cantik masih tetap... harus dicantikin mukanya... Nggak kayak Papua, kan?"

Ivan Gunawan Yakin Cita Citata Tak Lecehkan Papua

Cita Citata Dilaporkan Kepala Suku Papua ke DPR

Musisi Papua Geram Cita Citata Hina Daerahnya

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun