[caption caption=""Jenderal" Goliath Tabuni"]
Sejak semalam, ramai di beberapa media sosial dan milis-milis milik mahasiswa Papua terkait pemberitaan mengenai “turun gunungnya” Goliath Tabuni, Panglima Tertinggi TPN-OPM, atau itu yang ia dan pengikutnya akui, untuk berdialog dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe berserta Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) untuk menerima paket bantuan dari Pemerintah Papua. Hal ini disampaikan oleh Henok Ibo (Bupati Puncak Jaya), melalui Mayjen TNI Hinsa Siburian (Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih). Henok Ibo juga menyatakan bahwa Goliath Tabuni juga menawarkan kayu olahan untuk dijual.
Dialog Gubernur Papua Lukas Enembe dengan Kelompok TPN/OPM yang memiliki anggota yang paling besar dan bermarkas di Tingginambut tersebut, berlangsung saat menghadiri undangan perayaan HUT ke 19 Kabupaten Puncak Jaya di Mulia. Dalam kesempatan itu, 350 anggota TPN-OPM dari wilayah Distrik Kalome, Yambi, Tinggineri dan Tingginambut pimpinan Goliath Tabuni berdialog dengan Gubernur Lukas Enembe di lapangan alun-alun Kota Mulia meminta agar Pemerintah segera masuk membangun daerahnya. Sementara itu, Bupati Puncak Jaya Henok Ibu mengatakan rencananya tahun depan pemerintah setempat akan membuat proyek jalan sejauh 15 KM menuju markas Goliath Tabuni. "Jalan ini nantinya langsung masuk ke tempatnya Goliath di Bukit Lima Jari. Ini juga atas permintaan Goliath dan dia juga sudah meminta untuk wilayahnya dibangun jalan. Goliat sudah menyetujuinya untuk kita bangun jalan," katanya.[1]
“Turun Gunung”nya Goliath Tabuni merupakan slah satu hal yang penting dan menarik untuk dibahas, karena selain memiliki pengikut yang besar, pengaruh Goliath Tabuni kepada pimpinan-pimpinan kelompok TPN-OPM lain cukup besar. Puron Wenda yang merupakan pimpinan Kelompok TPN-OPM di Lanny Jaya dan salah satu kelompok yang paling aktif “menembakan senjata” sepanjang 2014 lalu, juga merupakan pecahan dari kelompok Goliath Tabuni. Hal yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa Goliath Tabuni sebagai “Jenderal” TPN-OPM dengan pengikut yang banyak dan masih memiliki pengaruh yang besar di kalangan OPM faksi Militer lainnya, mau berdialog dengan Pemerintah Provinsi Papua?
OPM Tidak Berdiri Sebagai Ideologi
Bila dilihat dari aspek sejarah, keberadaan OPM dan permasalahan separatisme di Papua diawali oleh penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949. KMB adalah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia secara sah. Kecerdikan Belanda adalah mereka tidak mengikutsertakan Papua dalam penyerahan tersebut, sehingga permasalahan integrasi Papua ke Indonesia berlarut-larut hinggal tahun 1961. Dalam periode 1949-1961 Pemerintah Kolonialis Belanda memberikan janji-janji manis kepada rakyat Papua untuk menjadikan Papua negara “berdaulat” tanpa mampu mewujudkannya. Sehingga ketika kembalinya Papua ke Indonesia tahun 1961 setelah dunia internasional menekan Belanda, sebagian rakyat Papua yang termakan janji-janji manis pemerintah Belanda mulai membentuk gerakan pemberontakan yang kemudian dikenal sebagai OPM dengan berbagai faksinya.
Dalam perkembangannya, setelah berpuluh-puluh tahun, gerakan separatisme Papua, tidak terbangun sebagai ideologi, banyak sisi pragmatisme dari orang-orang yang bergabung menjadi anggota OPM, apapun faksinya, apapun kelompoknya. Oleh sebab itu, ketika ada orang Papua yang mengatakan bahwa ia merupakan OPM atau mendukung pemisahan Papua dari Indonesia, hal tersebut bukan hanya berarti mereka mendukung pemisahan Papua dari Indonesia, ada maksud-maksud pribadi yang kental dengan ekonomi, dari dukungan tersebut. Jadi, OPM yang anda liat sekarang tidak bisa disebut gerakan separatis murni.
Contoh dari hal ini adalah Kelompok Eden Wanimbo yang saat ini sudah bergabung dengan kelompok Puron Wenda. Bupati Lanny Jaya, Befa Jigibalom mengaku pernah memberikan uang sekitar Rp 100 juta kepada Enden Wanimbo. Befa mengklaim sejak pemberian uang tersebut, kelompok Enden masih terus meminta uang kembali kepada pihaknya. Bahkan pernah ada permintaan Enden kepada Bupati Befa agar memberikan uang sekitar Rp 300 juta hingga Rp 500 juta, namun ia menolak memberikan. "Hingga saat ini, jika permintaan mereka hanya Rp 5 juta sampai Rp 20 juta, pasti akan saya berikan, lebih dari itu tidak " jelas Befa.[2] Bahkan saat ini, Komite Nasional Pemuda Pancasila Anti Korupsi Provinsi Papua (KONPAK), mendesak Polda Papua untuk segera memerika Bupati Lanny Jaya, Befa Jigibalon terkait dugaan penyalahgunaan dana APBD tahun 2013 sebesar Rp 67 miliar. Dana yang seharusnya didistribusikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemkab Lanny Jaya, diduga juga dibagikan kepada kelompok separatis OPM.[3]
Pragmatisme ini tidak hanya terjadi di kelompok-kelompok OPM faksi militer, kelompok-kelompok OPM faksi politik pun terjadi hal yang sama. Hal ini terlihat dalam perubahan dukungan Benny Wenda, salah satu tokoh OPM luar negeri dalam dukungannya terhadap referendum Skotlandia 2014 lalu. (tulisan saya disini dan tulisan kompasianer lain disini). Oleh sebab itu, menurut saya, mau berdialognya Goliath Tabuni dengan Pemerintah Provinsi Papua untuk membangun daerahnya dan keinginannya untuk menjual kayu olahannya kepada Pemerintah Provinsi Papua, adalah bukti lain pragmatisme OPM.