Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Papua Melawan Lupa

9 September 2014   15:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:13 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_358044" align="aligncenter" width="850" caption="Ilustrasi (Sumber : http://home.chunghwa.edu.bn/historydept/)"][/caption]

History Is A People’s Memory, and Without Memory, Man is Demoted To The Lower Animal” sebuah untaian kata sarat makna milik seorang pejuang HAM dari kaum Afrika-Amerika, Malcom X, dalam pidatonya. Dalam kalimat tersebut Malcom X menggambarkan bahwa pengetahuan seorang manusia terhadap sejarahnya menggambarkan tingkat kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Sehingga pentingnya pemahaman tentang sejarah sangat besar, bukan hanya sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai tuntunan hidup agar manusia tidak terlepas dari akar yang melandasi kehidupannya ibarat kata orang tua “Agar Kacang tak lupa akan kulitnya”.

Pemahaman dalam sejarah, akan membantu manusia memahami kemudian menyelesaikan permasalahannya di masa kini. Termasuk dalam memahami permasalahan Papua, yang saat ini begitu rumit dan kompleks. Pemahaman terhadap sejarah Papua menjadi begitu penting untuk mengurai “kerumitan” dan “kekompleksan” masalah tersebut sehingga dapat dilihat akar masalah dari permasalahan di Papua.

Papua, Sebelum Dikenal Sebagai Papua

Dalam sejarahnya, Kepulauan papua tidak pernah dikenal oleh dunia luar, atau paling tidak belum pernah termaktub dalam catatan manapun. Kepulauan Papua baru dikenal pada abad ke 6 atau 7 setelah Masehi oleh pedagang Persia dan Gujarat dengan sebuta Dwi Panta dan Samudranta yang berarti Ujung Samudera atau ujung Lautan. Pedagang China mengenalnya sebagai Tungki, seorang musafir Cina bernama Chau Yu Kua menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat satu daerah bernama Tung-ki yang merupakan pulau besar diujung kepulauan Maluku. Dikenalnya Papua dengan nama Dwi Panta, Samudranta dan Tungki atau Janggi adalah bagian dari proses ekspansi perdagangan Kerajaan Sriwijaya yang ketika itu pengaruhnya sudah sampai ke Pulau Papua.

Papua mulai dikenal oleh bangsa Eropa ketika Papua berada dalam pengaruh Kesultanan Tidore. Selain tertarik untuk mencari burung-burung Papua yang sudah terkenal hingga China ketika dalam kekuasaan Kerajaan Sriwijaya, Sultan Tidore juga meminta bantuan orang-orang Papua untuk berperang dengan bangsa Eropa yang ketika itu mulai memasuki wilayah Tidore, oleh karena itu nama Papua banyak disebutkan dalam catatan para Eksplorer Portugis pada abad ke 14 seperti dalam catatan Antonio d’Arbau dan Fransesci Serano menyebutnya “Os Papuas” atau juga llha de Papo, Don Jorge de Menetes menyebutnya sebagai Papua. Nama Papua juga hadir dalam catatan Antonio Figetta, juru tulis pelayaran Magelhaens yang mengelilingi dunia. Nama Papua ini diketahui Figafetta saat ia singgah di Kerajaan Tidore, yang ketika itu berkuasa atas Pulau Papua.

Bangsa-bangsa Eropa mulai tertarik untuk menjajah Pulau Papua ketika Pelaut Spanyol bernama Alvaro De Saavedra melihat pasir Kuarsa bercampur Emas di Papua, sehingga ia memberi nama Papua sebagai Isla Del Oro. Bangsa Inggris, Jerman dan Belanda berusaha menaklukan Kesultanan Tidore yang ketika itu masih memiliki pengaruh di Pulau Papua, akhirnya pada 1828 pemerintah kolonialis Belanda mengklaim Papua sebagai daerah jajahannya. Semenjak itu lahirlah perbatasan Hindia Belanda menurut garis 141 derajat utara Selatan di pertengahan pulau Papua. Garis itu menjadi perbatasan Hindia Belanda yang paling Timur.

Papua, Awal Dari Sebuah Masalah Panjang

Ketika membaca tulisan di atas, maka bisa dilihat bahwa antara Papua dengan daerah-daerah lain di Nusantara sudah memiliki hubungan, baik kultural, ekonomi maupun budaya. Bahkan Pulau Papua juga diklaim oleh Belanda sebagai jajahannya. Jadi sudah “semestinya” lah Papua masuk dalam kedauatan Indonesia, lalu kenapa OPM bersikeras untuk melepaskan diri dari Indonesia ketika sejarah menempatkan Papua termasuk dalam wilayah Indonesia?

Bila dirunut dari sejarah, upaya pemisahan Papua dari Indonesia oleh OPM bukan disebabkan oleh ketimpangan ekonomi, bukan juga karena permasalahan HAM atau tidak berhasilnya program UP4B. Permasalahan Papua diawali oleh penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 27 Desember 1949. KMB adalah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia secara sah. Kecerdikan Belanda adalah mereka tidak mengikutsertakan Papua dalam penyerahan tersebut, sehingga permasalahan integrasi Papua ke Indonesia berlarut-larut hinggal tahun 1961. Dalam periode 1949-1961 Pemerintah Kolonialis Belanda memberikan janji-janji manis kepada rakyat Papua untuk menjadikan Papua negara “berdaulat” tanpa mampu mewujudkannya. Sehingga ketika kembalinya Papua ke Indonesia tahun 1961 setelah dunia internasional menekan Belanda, sebagian rakyat Papua yang termakan janji-janji manis pemerintah Belanda mulai membentuk gerakan pemberontakan yang kemudian dikenal sebagai OPM dengan berbagai faksinya.

Papua, Tanah Yang Dijanjikan

Sikap Belanda yang tidak mengikutsertakan Papua dalam penyerahan kedaulatan dari Belanda sebagai penjajah ke Indonesia pada KMB membawa permasalahan Papua berlarut-larut hingga kini. Pertanyaannya adalah kenapa Belanda tidak memasukan Papua dalam penyerahan kedaulatan tersebut?

Untuk menjawab hal ini, paling tidak kita harus mundur sampai ketika periode perang dunia I sampai perang dunia ke II. Setelah periode perang dunia I, negara-negara di Eropa mengalami kehancuran akibat perang. Warga sipil diselimuti ketakukan akan terjadinya perang lagi di Eropa, termasuk warga negara Belanda. Pada masa perang dunia I dan II, Belanda memang tidak bisa disebut sebagai kekuatan militer utama di Eropa, tetapi wilayah Belanda sering dijadikan “medan perang” sehingga kehancuran yang besar pun terjadi di negara ini akibat perang dunia. Sehingga pasca selesainya perang dunia I, sekitar tahun 1920-an munculah ide di kalangan politikus dan masyarakat Belanda untuk memulai hidup baru yang jauh dari situasi perang yang tidak menentu di Eropa. Pulau Papua kemudian menjadi tempat yang dianggap “layak” untuk dijadikan sebagai tempat masa depan yang aman dan tentram bagi negara Belanda.

Pertanyaannya adalah, kenapa yang dipilih adalah Papua?

Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena pada masa itu jajahan Belanda tidak hanya Papua, ada banyak daerah jajahan lain yang ketika itu dikuasai Belanda. Ketika politikus dan masyarakat Belanda menginginkan untuk memulai hidup “baru” di luar Eropa yang aman dan tentram tentu pilihannya tidak hanya Papua. Ada 2 alasan besar kenapa Pulau Papua “terpilih” sebagai tanah yang dijanjikan.

Pertama, Belanda terinspirasi dari Australia yang sukses menjadi daerah yang layak untuk tempat tujuan imigran asal Eropa. Kondisi penduduk asli Australia, yaitu orang Aborigin, yang masih berkonsep tribe, dan perbandingan kemajuan pengetahuan yang berbeda jauh memudahkan orang Eropa “menjajah” Australia tanpa mendapatkan perlawanan yang massif. Konsep tribe dimana seseorang hanya terikat kepada sukunya saja dan belum mengenal konsep nasionalisme memudahkan penjajah untuk menduduki daerah jajahannya, karena perlawanan yang skalanya tidak besar dan kecenderungan adanya persaingan antar suku dari pribumi menjadi faktor penunjang mudah dijajahnya daerah tersebut.

Kondisi Australia ketika pertama kali datang bangsa Eropa tidak begitu berbeda dengan kondisi Papua ketika Belanda datang ke pulau ini. Daerah yang subur, masyarakat yang belum mengenal nasionalisme dan perbandingan kemajuan pengetahuan yang berbeda jauh, menjadikan Pulau Papua tempat yang tepat untuk menjalani hidup “baru” bagi negara Belanda.

Kedua, sejak 1900 sampai 1920 timbul rasa nasionalisme pada bangsa Indonesia di daerah lain di Indonesia selain Papua karena diawali kebijakan Politik Etis oleh pemerintahan Kolonial. Timbulnya rasa nasionalisme tersebut berakibat kepada banyaknya perlawanan-perlawanan di berbagai daerah menentang Belanda. Tersebar luasnya rasa antipati terhadap pemerintah kolonial ini tidak disenangi oleh para politikus Belanda. Ketidaksukaan politikus Belanda terhadap banyaknya tindakan perlawanan di daerah jajahannya tersebut tertulis dalam buku West New Guinea Debacle : Dutch Decolonization and Indonesia, 1945-1962′ karangan dari Christiaan Lambert Maria Penders yang mengutip salah satu perkataan politikus Belanda sekitar pertengahan tahun 1930-an sebagai berikut “if Java, Sumatra, etc., should be severed from the Netherlands within the foreseeable future – which God forbid ! – then that does not need to be the case for West New Guinea. New Guinea does not belong to the Indies Archipelago either geographically or geologically. The human, the animal, and plant world of New Guinea also have a strongly Australian character. One might very well refer to New Guinea as ‘Netherlands Australia’ … Neither the Javanese, the Acehnese, nor the inhabitants of Palembang have any right to this ‘empty’ country. The Dutch were the first to occupy it, and have the right to use it for the population surplus of the Netherlands”

Penutup

Dengan sejarah kita bisa melihat akar dari permasalahan Papua yang saat ini begitu rumit dan kompleks. Keengganan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan sepenuhnya kepada Indonesia pada KMB adalah awal dari permasalahan sebagaian orang Papua yang masih menginginkan berpisah dari Indonesia. Janji-janji yang diberikan Belanda untuk memerdekakan Papua pun didasari oleh keinginan politikus Belanda yang ingin membuat “Australianya Belanda” di Papua, bukan atas dasar kesadaran memerdekakan Papua semata. Lebih dari setengah abad lalu, Belanda berhasil membuat para aktivis Papua di masa-masa awal berhadapan satu sama lain, kelompok pertama mendukung bergabung dengan Indonesia dan kelompok lainnya mendukung Belanda dengan mendirikan negara sendiri dan saat ini kondisi tersebut masih terjadi. Inilah warisan Belanda untuk Papua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun