Mohon tunggu...
Evha Uaga
Evha Uaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Wanita itu Tangguh. \r\n\r\nBelajar berjuang untuk Papua lewat tulisan. Jikapun dunia ini putih, biarkan aku tetap hitam

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Drama Papua: Antara Otsus Plus, Pertemuan Rekonsiliasi di Vanuatu dan Penembakan di Papua

29 September 2014   22:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:02 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411979363371231641

[caption id="attachment_362553" align="aligncenter" width="528" caption="Ilustrasi Papua (Sumber : damaipapua.com)"][/caption]

Seminggu terakhir ini beberapa rangkaian kejadian terjadi di Papua. Layaknya drama-drama Korea, episode drama Papua seminggu terakhir mungkin sedang berada rating tertinggi, dimana setiap aktor berperan aktif dalam menentukan alur cerita drama Papua ini. Mulai dari elite politik lokal Papua, faksi politik OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan faksi militer OPM, semua bergerak untuk menunjukan kebolehannya masing-masing. Elite politik Papua lewat pergerakannya memperjuangkan RUU Otsus Plus Papua, faksi politik OPM yang bergerak memuluskan pertemuan rekonsiliasi di Vanuatu dan faksi militer OPM yang tidak mau kalah menunjukan eksistensinya di tengah keterpurukan kedua kelompok lainnya.

Kamis lalu, atau tanggal 25 September 2014, tiga peristiwa terkait dengan Papua terjadi dengan tiga aktor yang berbeda. Elite politik lokal Papua mengalami kegagalan dalam memuluskan RUU Otsus Plus Papua. Seperti yang dikatakan oleh anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, ia mengatakan seperti yang dilansir oleh JPNN.com bahwa komisinya telah menolak untuk membahas RUU Otonomi Khusus Plus Papua yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR karena pembahasan RUU tersebut dinilai terburu-buru dan menyalahi prosedur. RUU ini diajukan oleh pemerintah secara mendadak dan disahkan oleh paripurna DPR pada 16 September lalu masuk dalam Prolegnas tanpa melalui proses panja, pansus, rapat dengar pendapat dan lain-lainnya. Hal yang unik adalah 2 hari setelah berita penolakan RUU Otsus Plus Papua tersebut, atau tanggal 27 September 2014, statemen dari Yandi Susanto dibantah oleh Juru Bicara Tim Asisten RUU Otsus Plus, Yunus Wonda dan Staff Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah, Velix Wanggai. Mereka mengatakan bahwa pernyataan Yandri adalah pernyataan sepihak, bukan merupakan keputusan dari Komisi II DPR.

Sedangkan aktor lainnya, pada tanggal 25 September 2014 lalu faksi politik OPM juga mengalami kegagalan. Pertemuan rekonsiliasi faksi politik OPM yang akan mempertemukan KNPB (Komite Nasional Papua Barat), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) dan WPNCL (West Papua National Coalition) di Vanuatu gagal terlaksana karena minimnya tokoh OPM yang mengkonfirmasi akan hadir dalam pertemuan tersebut. Di tanggal yang sama faksi militer OPM melakukan aksi penyerangan ketika acara pelantikan kepala Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak. Aksi ini menewaskan Pratu Abraham Rumadas, prajurit TNI asli Papua.

Pertanyaannya adalah, kenapa 3 peristiwa dengan 3 aktor yang berbeda terjadi di waktu yang begitu berdekatan? Apakah ada keterkaitan antara satu aktor dengan aktor yang lain, satu peristiwa dengan peristiwa yang lain? Untuk itu kita harus membahasnya satu persatu peristiwa secara mendalam.

Drama Pengajuan RUU Otsus Plus

“Otsus Papua Gagal, Kami Pilih Referendum”, itulah kata-kata yang sering dilontarkan oleh organisasi-organisasi turunan OPM (Organisasi Papua Merdeka) baik dari faksi politik maupun dari faksi militer bila dimintai pendapat mereka tentang perjalanan Otsus Papua yang sudah 13 tahun sejak UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Memang dalam pelaksanaannya, Otsus Papua yang merupakan win-win Solution antara kelompok separatis OPM yang ingin memisahkan diri, rakyat Papua yang tetap menginginkan Papua berada dalam Indonesia dan Pemerintah Indonesia sendiri ini dinilai kurang berhasil menyentuh masyarakat akar rumput Papua. Oleh karena itu munculah solusi instan dengan memunculkan RUU baru yang disebut RUU Otsus Plus Papua. Kenapa sa bilang instan? Pembaca bisa membaca ulasan sa sebelumnya dalam Otus Papua, Jawaban atau Masalah Baru?

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa pengajuan RUU Otsus Plus Papua ini terlihat sangat terburu-buru karena masuk dalam Prolegnas tanpa melalui proses panja, pansus, rapat dengar pendapat dan lain-lainnya. Belum bila kita membicarakan evaluasi menyeluruh terhadap Otsus Papua yang katanya gagal. Tetapi para elite politik Papua tetap ngotot dalam mengusahakan lolosnya RUU Otsus Plus ini, akhirnya mereka menggunakan menggunakan ancaman untuk melepaskan diri dan referendum untuk meloloskan RUU ini. Sekitar tanggal 13 September lalu, Lukas Enembe pernah mengatakan, seperti yang dilansir oleh Suluhpapua.com bahwa “kita (orang Papua) adalah warga negara Indonesia, bahasa kami bahasa Indonesia, jadi jangan ada keraguan terkait hal tersebut, kalau Jakarta masih ragu RUU Otsus Plus yang kita ajukan ini, berarti Jakarta yang mendorong kita untuk keluar dari NKRI”. Bahkan pasal berisi ancaman referendum sempat dicantumkan dalam RUU Otsus Plus Pasal 299, walaupun kemudian dihapuskan. Lukas Enembe mengatakan bahwa “Pasal Referendum” tersebut merupakan pasal bargaining.

RUU Otsus Plus atau apapun namanya, yang merupakan perbaikan dari UU. No. 20/2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua haruslah dibuat dengan melihat kekurangan-kekurangan pada Otsus Papua. Pengkajiannya harus benar-benar dilakukan dengan tujuan memajukan dan mensejahterakan rakyat Papua, bukan hanya meperbesar wewenang pemerintah daerah Papua saja. Sehingga RUU Otsus Plus ini mestinya tidak diajukan secara terburu-buru, harus diawali oleh evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Otsus terlebih dahulu, kemudian hasil evaluasi tersebut disosialisasikan kepada masyrakat. Bukan dengan menggunakan ancaman-ancaman dengan memisahkan diri atau referendum, seakan elite politik Papua ini mempolitisasi keberadaan OPM dan organisasi/kelompok turunannya. Hal yang unik adalah ketika anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto mengatakan bahwa komisi II menolak membahas RUU Otsus Plus, tanggal 25 September lalu, penembakan yang dilakukan OPM kembali terjadi di hari yang sama.

Pertanyaannya adalah, apakah penyerangan yang dilakukan oleh faksi militer OPM tanggal 25 September 2014 ada kaitannya dengan pembahasan RUU Otsus Plus?

Drama Rekonsiliasi Faksi Politik OPM di Vanuatu

Beberapa kali sa menulis tentang rencana pertemuan untuk rekonsiliasi OPM faksi politik, terutama organisai KNPB (Komite Nasional Papua Barat), NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat) dan WPNCL (West Papua National Coalition). Pertemuan di Vanuatu tersebut memang sangat menarik untuk dibahas paling tidak karena 4 hal : Pertama kondisi politik dalam negeri Vanuatu sendiri sebagai tuan rumah penyelenggaraan pertemuan tersebut. Kedua, Dipilihnya ketiga organisasi tersebut, padahal ada belasan organisasi lain dari faksi politik OPM, belum bila membahas kelompok-kelompok faksi militer OPM yang sama sekali tidak disertakan. Ketiga, Perbedaan ketiga organisasi tersebut terhadap pola usaha mereka untuk memisahkan diri dari Indonesia. Dan yang terakhir, Keempat, beberapa kali ditundanya penyelenggaraan pertemuan tersebut, acara yang awalnya direncanakan pada akhir Agustus 2014 ini sudah 3 kali mengalami penundaan karena sedikitnya tokoh-tokoh politik OPM yang mengkonfirmasi kehadirannya di pertemuan ini. Penundaan yang terakhir adalah tanggal 25 September 2014 lalu, tepat ketika penembakan yang dilakukan faksi militer OPM terjadi.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebenarnya bukanlah satu organisasi, ada belasan faksi dari OPM baik sayap militer maupun sayap politik. Ada kecenderungan bahwa setiap kelompok dari faksi militer maupun politi saling berlomba untuk menunjukan eksistensinya sebagai organisasi yang “paling berjuang” untuk rakyat Papua, sehingga persaingan antar faksi pun kerap terjadi. Bahkan antar organisasi saling menggagalkan upaya organisasi lainnya, demi eksistensi kelompok dan faksinya sendiri, sebut saja sebagai berikut :


  • Gagalnya pengajuan aplikasi WPNCL untuk masuknya Papua dalam MSG berawal dari klaim Jacob Rumbiak, yang merupakan tokoh WPNA (West Papua National Authority) dan juga Menteri Luar Negeri NRFPB bahwa WPNCL bukan merupakan wakil dari rakyat Papua. Jacob menyampaikan bahwa NRFB lah yang merupakan wakil sah rakyat Papua, padahal ketika itu Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden NRFPB mendukung WPNCL. Tidak sampai sebulan setelah kegagalan WPNCL tersebut, Jacob Rumbiak dan WPNA mengumumkan keberhasilan WPNA mendirikan kantor di Melbourne, Australia
  • Dalam pelaksanaan Pilpres di Papua, antara KNPB dan TPN-OPM sama-sama mengkampanyekan “Boikot Pilpres”. Pimpinan TPN-OPM wilayan Nabire-Paniai, Leo M Yogi mengklaim bahwa keterlambatan Pilpres di 9 distrik adalah hasil dari upaya represif TPN-OPM untuk memboikot pilpres. Kemudian KNPB menyuarakan Boikot Pilpres agar bermartabat dan menjunjung HAM, Viktor Yeimo meyampaikan bahwa rakyat Papua tidak boleh dipaksa untuk memilih juga tidak boleh dipaksa untuk golput.
  • Tanggal 1 Desember kerap dirayakan oleh faksi-faksi OPM. Tapi tokoh WPLO (West Papua Liberation Organization), Agustinus Waipon, yang mengaku juga sebagai Kepala Kantor Sekretariat Negara Republik Papua Barat (NRPB versi Presiden Yance Hembring bukan NRFPB versi Forkorus Yaboisembut) menyampaikan bahwa kemerdekaan Papua adalah 1 Juli 1971 bukan 1 Desember 1961, ia menyampaikan bahwa peringatan 1 Desember adalah sebuah pembohongan politik bagi rakyat Papua. Ia juga menyampaikan bahwa “Kami (NRPB) menyampaikan kepada organisasi sipil yang tergabung dalam perjuangan kelompok-kelompok lain yang tidak punya hak sedikitpun dalam kewenangan untuk membentuk negara atau umumkan pemerintahan, segara bubarkan diri karena tidak mempunya legalitas hukum yang kuat”.
  • Dalam Kongres pembentukan WPNA, tanggal 15 Juli 2004 di Wewak, Papua New Guinea yang dihadiri oleh Jacob Rumbiak, Edison Waromi, Stepanus Paigy, Kaliele, Sonny Mosso, Theryanus Yoku, Herman Wanggai dan Jonah Wenda, dalam pertemuan tersebut Jacob Rumbiak menginkan menghapus nama “TPN-OPM” karena OPM dianggap antiproduktif terhadap perjuangan Papua di luar negeri, karena beberapa aktivitas “OPM” melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga rentan dianggap sebagai organisasi terror. Dalam perkembangannya, Goliath Tabuni, sebagai panglima tertinggi TPN-OPM menolak tegas atas pembentukan WPNCLdan WPNA dan meminta kepada tokoh-tokoh OPM yang aktif di WNPCL dan WPNA agar tidak meneruskan perjuangannya karena ia anggap tidak berguna.
  • Teryanus Sato, salah satu petinggi TPN-OPM yang mengklaim berpangkat Mayjend menyampaikan terkait kunjungan MSG ke Papua “kami tidak tahu untuk apa mereka datang, dan kami sejak awal tidak kenal apa itu WPNCL, karena representasi bangsa Papua yang sampai hari ini masih berjuang untuk pembebasan bangsa Papua hanya TPN/OPM, tidak ada itu nama WPNCL yang mengemis jadi anggota di MSG, sejak awal kami tidak setuju dengan diplomasi WPNCL itu, kami tetap berjuang dari hutan”.

Bila faksi politik OPM menunjukan eksistensinya dengan melaksanakan pertemuan di luar negeri, aksi unjuk rasa dan pelaksanaan seminar-seminar di luar negeri, faksi militer OPM hanya bisa menunjukan eksistensinya dengan aksi penyerangan. Korbannya bisa jadi adalah tentara dan polisi atau rakyat Papua sendiri. Tanggal 25 September lalu seorang tentara asal Papua, Pratu Abraham Rumadas, meninggal dalam penyerangan yang dilakukan oleh faksi militer OPM, di hari yang sama ketika pertemuan di Vanuatu yang dilaksanakan oleh faksi politik OPM kembali diundur.

Pertanyaannya adalah, apakah penyerangan yang dilakukan faksi militer OPM tanggal 25 September 2014 ada kaitannya dengan perang eksistensi antara faksi militer dengan faksi politik OPM?

Kesimpulan

Penyerangan yang mengakibatkan meninggalnya seseorang, dengan alasan apapun, merupakan sebuah kejahatan. Apalagi bila alasannya hanyalah untuk adu eksistensi atau bargaining politik. Hal yang ironis adalah, ketika si penembak dari faksi militer OPM adalah orang asli Papua yang menginginkan kemajuan rakyat Papua, sedangkan yang tertembak adalah tentara yang merupakan orang asli Papua juga dan juga menginginkan kemajuan rakyat Papua. Keduanya adalah orang asli Papua, keduanya ingin memajukan Papua, yang membedakan hanyalah yang satu percaya kepada bintang kejora, yang lainnya memegang teguh merah putihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun