Pembicaraan pagi ini ditutup dengan simpulan bahwa; jadi pemimpin "Jaman Now" harus meninggalkan jejak digital, jejak monumental dan jejak fenomenal. Ya, ketiga jejak itu konon memberikan tiket tambahan bagi pemimpin untuk setidaknya dapat tiket terusan dirambahan putaran kedua, atau mimpi besarnya menaikkan anggota keluarga untuk meneruskan tampuk kekuasaan sebagai estafetnya. Entah 500-an kota dan kabupaten yang ada kini dibiayai oleh biaya pilkada milyaran bahkan trilyunan rupiah hasilnya menggambarkan bahwa kekuasaan harus langgeng bestari. Entah untuk kemudian istri, istri kedua, anak halal maupun haram yang harus diserahkan kekuasaan tersebut.
Jejak digital dapat dilihat dari sosmed; baik yang dikelola sekpri, anak sendiri sampai dikelola oleh para professional cyber army (mereka menambahkan menjadi cyber army for hire).Â
Mereka dalam kapasitas yang bisa jadi merupakan kaderisasi 'beasiswa' dari partai untuk mencari bibit unggul namun minim dana dan tertarik dengan politik. Para kader muda inilah punawakan media baik mainstream maupun media social sehingga dulu berita penyebar hoax dan pembunuh karakter sudah menjadi profesi baru di era disruption ini.
Jejak Monumental adalah salah satu kecongkakan penguasa petahana yang diangkat-angkat sebagai kartu truf supremasi ukuran keberhasilan kesuksesan. Kecongkakan monumental ini dapat dilihat dari hasil pembangunan dan pengembangan jalan, masjid, stasiun, terminal, rumah rakyat, jembatan hingga monument itu menjulang megah bermanfaat bagi masyarakat.Â
ata Kuncinya jejak monumental ini "Jikalau" saya tak terpilih maka pembangunan akan mangkrak dan mandeg. Seperti ada mantra bahwa saya adalah pembangun negeri ini, yang lain belum berbuat apa-apa. Berhala-berhala keberhasilan itu bias jadi mantra politik ampuh atau malah keruntuhan dibeberapaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H