Membela Wawan dan Model Majalah Dewasa
“ no man’s land”. Jaman Kerajaan Sriwijaya kala clash dengan Kerajaan Mataram, maka ada satu wilayah yang selalu masuk dalam area abu-abu politik. 1. Kabupaten Lebak, 2 Kabupaten Pandeglang, 3 Kabupaten Serang, 4 Kabupaten Tangerang, 5 Kota Cilegon, 6 Kota Serang, 7 Kota Tangerang dan 8 Kota Tangerang Selatan. Kini menjadi area yang kita sebut sebagai Banten. Pengaruh dua kerajaan nusantara tersebut diarea ujung barat tanah jawa ini dinilai kurang “menggigit”. Sehingga berkembang jagoan-jagoan, di ujung barat jawa tanah Banten.
Banten, dibawah pengaruh para ‘social bandit’ (ini istilah pakar, diistilahkan dengan konteks barat) atau non state ruler atau pengatur tanpa wewenang resmi, berkembang diwilayah ini. Daerah pinggiran Jakarta sendiri saya mendapat cerita. Awal-awal kemerdekaan, daerah tanah kusir, pondok indah dan kebayoran lama dulunya juga dikuasai oleh para jawara. Ada sekelompok atau beberapa orang yang menarik (baca: mengambil paksa) bahan hidup sehari-hari dari warga (hasil ngobrol dengan seorang haji pemilik cucian motor di tanah kusir-Jalan Jatayu) . Social bandit yang kita istilahkan disini, tentunya sedikit berbeda dengan konsep Robin Hood. Si pitung atau bang jampang dari konsep betawi adalah konsep 11-12 dengan konsep jawara banten.
Pengaruh kekerajaan sunda sejak lama tidak berpengaruh lagi disini. Kerajaan Sriwijaya maupun kendali kerajaan mataram Hingga saatnya diberikan otonomi daerah, sejak tahun 2000 berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, sebagaimana merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dan Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.
Pada tahun 2000 inilah Prof. Dr. H. Tb. Chasan Sochib dinobatkan sebagai deklarator pemisahan Banten dan Jawa Barat. Sebagai seorang menak (darah biru) di Banten diberi label ‘Tubagus’ (sering disingkat menjadi Tb). Betawi dan Banten pertama kali memang berkembang menjadi wilayah budaya pesisir. Dimana kekuasaan (politik) berkembang dengan pendekatan represif untuk menegakkan kepatuhan dan pengendalian. Menak Tb ini muncul dan mirip dengan otoritas syahbandar, dengan merujuk kepada pembayaran upeti dari para pedagang (pengusaha), saudagar dan maupun pembayaran kesetiaan oleh warga kepada para jawara. Syahbandar tidak membayar upeti lagi kepihak lain. Ia adalah pemimpin para “orang bebas” yang ia biayai hasil dari menerima “sumbangan” dari warganya tadi (saudagar, pedagang dan pencari suaka).
Kebetulan di Banten khususnya, Prof Dr H Tb Chasan Sochib menjadi jawara pemegang trah kekuasaan Banten sejak saat itu. Anak-mantu-cucu dan karib kerabat dari haji kasan ini mewujudkan diri sebagai penguasa-penguasa Banten. Dari anggota legislatif, walikota, wakil bupati sampai gubernur banten dipegang dalam satu trah kekeluargaan. Bukan salah mereka memang kalau sistem budaya politik di Banten mewarisi budaya jawara. Dimana budaya Jawara dalam sistem organisasi dan komunikasi kelompoknya menganut pertanyaan “siapa-dia? (dalam konteks apa hubungannya dengan siapa)”. Istilah budaya jawara ini bukan istilah yang netral memang..... tapi mudah-mudahan menjadi kalimat yang denotatif dan bukan konotatif. Atau dimakna negatif tentunya jangan. Budaya jawara yang mirip dengan budaya syahbandar yang diceritakan sebelumnya. Sama-sama membentuk hubungan kekerabatan dengan ikatan mutual simbiosis saling menguntungkan. Begitu keuntungan disalah satu pihak hilang maka terjadi pecah kongsi. Siapapun, tiada ampun hubungan ini menyuburkan motto "maju tak gentar, membela yang bayar".
Sistem demokrasi yang berlaku global dan mungkin idealnya memang jauh dari dialog komunikasi “siapa-dia?”, akan tetapi niscayanya demokrasi itu menjawab pertanyaan “apa-dia? (dalam konteks: apa yang telah ia perbuat?, apa prestasinya? dan apa kehebatannya?).
Membela Wawan.
Wawan nan ada dijudul, merupakan diantara contoh jawaban dari pertanyaan ‘siapa-dia’....dia adalah adik kandung gubernur banten. Siapa dia, dia anak laki-laki dari jawara banten. Siapa dia, dia suami dari walikota tangsel. Pertemuan dari berbagai jawaban tadi menyebabkan seorang menjadi sakti dalam sistem kebudayaan. Dalam konteks ini saya membela Wawan. Kondisi ini diperparah dengan para cerdik pandai yang ada sangat patuh terhadap pengaruh jawara tadi. Alim ulama, cerdik pandai mengambil posisi dibelakang para jawara ini. Makin lengkap kesaktian Wawan ini. Jadi kalau saya mengutip kacamata antropologi dan men-sarikan pandangan pakar yang saya ikuti kelasnya. Wawan ini gak salah kok, dia lahir dengan silver spoon dan bed of roses di keluarganya. Secara politik ekonomi, Wawan menjalankan peran sosial budaya nya sebagai menak dari barat pulau Jawa.
Yang saya akui menjadi kesalahan Wawan adalah, ketika ia tidak lagi percaya pada ‘ke-darahbiru-an’-nya di daerah Banten dengan membayar seorang Hakim yang mulia untuk memenangkan trah dan kerabatnya dalam perselisihan pemilihan umum.
Adalah juga kewajiban saya untuk membela model majalah dewasa. Karena sebagai makhluk tuhan yang memiliki anugrah terindah, memiliki kemolekan, kedemplonan dan keaduhai-an. Menjadi wajar untuk hanya mau meladeni pria dengan dengan anugrah terindah yang sama, mobil sport, rumah mewah dan ga pelit. Kalaupun dicurigai sebagai praktek pencucian uang.....Pak hakim.....keberatan yang mulia......wanita molek ini tidak mencuci uang........ yang ia lakukan satu kesalahan kecil, mereka hanya mencuci *tiiiiit....... sensor (dikutip dari berbagai sumber)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H