"Kalau tidak terpaksa dan tidak ada pilihan lagi, saya akan berpikir dua kali ke Singeplur"
Ini baru kejadian tadi pagi, Sabtu 13 September 2013. Setelah mengantar adik berobat ke Penang Malaysia. Kami sekeluarga memilih pulang lewat Singeplur. Pagi ini penuh sekali karena week end dan semua orang berbondong-bondong hendak "makan angin" di negeri singa duyung. Kami tiba dari Penang lewat darat. Perjalanan tidak berasa karena kita berangkat tengah malam dari Penang. Sampai di Jeibi (JB-Johor Baru) pukul 9 pagi. Lalu kami pindah naik bis Johor Baru Singeplur-Ekspress (JSE) ke perbatasan untuk di cap imigresen (imigrasi). Di perbatasan Malaysia tidak ada masalah, kami turun, ngecap keluar Malaysia lalu naik bis lagi buat ke imigresen Singeplur cap VOA.
Disini cerita baru menjadi menarik, kondisi seperti ini diluar dugaan. Antrian panjang mengular hingga ke pintu masuk arrival hall. Luasnya hampir sebesar lapangan bola, orang dari berbagai negara ada disana. Di dominasi warga Malaysia, Indonesia, di depan saya ada warga Vietnam, mat salleh (bule-bule) dan beberapa orang arab. Saya sedikit gelisah karena belum ke toilet. Celingak celinguk tidak ada toilet. Antrian berusaha diurai dengan menambah jumlah konter imigrasi. Orang-orang berlomba-lomba untuk masuk ke antrian yang kosong. Saya dan keluarga pun demikian. Ditambah situasi agak "mengerikan" karena sesaknya pengantri ditambah hadirnya kurang lebih 15 orang polisi berseragam lengkap dengan peralatan tempurnya: senjata laras panjang otomatis, sepucuk pistol kecil dipinggang , rompi anti peluru ala SWAT team film Amerika, HT ditelinga, pet yang mencuat keatas ala Brimob. Mirip-mirip action movie Amerika, ada yang akan dilumpuhkan oleh sang Police karena dicurigai..... saya pun yang tadinya pengen BAB jadi ilang rasa buang hajatnya.
Seperti masuk ke kamp pengungsian rasanya dikawal para POLICE Heavy army. Saya pun pegang erat anak saya, supaya kalau ada apa-apa tinggal saya angkat. Antrian masih panjang, Saya dan keluarga sudah sejam lebih menunggu keluar imigraasi. Jam 11-an akhirnya istri saya suruh duluan dengan anak, dan keluarga semua. Akhirnya giliran saya. Cerita makin seru, pas si mbak-mbak imigrasi mau ngecap paspor saya. telpon di konter si mbak imigresen berdering, perasaan jadi tambah ga enak. Benar aja, si mbak imigresen singeplur bilang: "kamu kena cek kat office....", uh...bener aja perasaan gak enak dari pagi. Disuruh masuk kantor imigrasi di cek ke dalam. Padahal istri dan keluarga udah ngeluarin tiket dan jadwal kepulangan. Dan mereka semua lolos. Saya kena tahan. Apa sal?, apa hal?, tak ngomong lah tuh mbak-mbak...(sayang saya ga liat namanya....).
Paling ga enaknya adalah, saya di suruh masuk kotak di samping mbak-mbak itu dan jadi tontonan orang-orang ramai. Disana seperti pesakitan kita, terdakwa, dan malu sekali lah kita berada di arrival hall seluas lapangan bola kita dipisahkan dari keluarga, masuk kotak pesakitan sebelum masuk ke kantor imigresen. Benar-benar pesakitan, terdakwa, dan tertuduh tulen. Kayak saya bawa bom atau semacam buronan interpol. Perlakuan yang kurang beretika menurut saya. Saya beberapa kali lewat imigrasi di Malaysia, orang-orang yang akan dibawa ke ruang kantor imigrasi (ke dalam) tidak pernah dibuat seperti ini. Mereka langsung dipandu kedalam dan tidak menjadi tontonan seperti ini.
Ada beberapa saat saya berada dikotak itu, padahal petugas berkacamata Oakley putih ada disana, tapi saya kok tidak diajak ke kantor malah ditaruh disitu. Sepeminuman teh datanglah polisi kurus hitam mengajak saya masuk, dengan ada satu perempuan muda dari Malaysia (sepertinya keturunan India, tapi fasih berbahasa melayu) dia tampak gugup sekali. Saya pun gugup setengah mampus, cuma yah berusaha santai kayak di pantai. Si India Malaysia masuk bersamaan dengan saya. Kami duduk berdekatan, saya dibelakangnya dalam ruang kantor itu. Dia curhat, kalau dia gugup dan baru kali ini diajak masuk ke dalam ruang kantor imigrasi seperti ini. Saya tak tanya kenapa, dia bercerita dengan spontan saja. Tak tahu alasannya dia masuk kedalam. Setengah berbisik dia menceritakan diapun dipisahkan dari keluarganya yang sudah masuk lolos tapi dia tidak diloloskan  dan harus kedalam (office imigresen). Selebihnya dia bercerita sangat pelan dan kurang saya mengerti karena banyak dialeknya yang kurang saya pahami. Mungkin dia kira saya dari Malaysia juga. Jadi asyik curhat dia.
Didalam sudah ada 4 orang Indonesia dan satu keluarga cina (nenek lansia dan ibu perempuan), yang di interogasi menggunakan bahasa melayu. Saya tidak liat paspornya dari negara mana. Yang pasti warna sampulnya merah. Oke... yang jelas selama saya menunggu disitu. Si perempuan muda india tadi sudah masuk, saya belum. Masih menunggu lagi. Waktu sudah menunjukkan jam 11.30. Sudah setengah jam menunggu, lalu datang pria berkacamata, perawakan kurus, putih dan tidak berseragam imigrasi, (tidak ada name tag di dada, cuma ada kartu yang menggantung leher tak jelas kartu pengenal apa, salah satu tulisan di kalung leher itu malah klub sepak bola) menanyakan: mau kemana, kerja dimana, jadi apa dikantor menggunakan singlish nya yang kental. Terus terang model begini, kalo di sekolahan, adalah model yang kena bully temen-temennya. Tapi disini dia yang punya kuasa. Saya keluarkan kartu identitas saya. Saya bilang saya PNS kerja di kementerian dan saya keluarkan ID kepegawaian saya. Dan saya kasih lihat tiket saya pulang ke Jakarta sudah saya turuti , masih tetap santai dan berusaha tenang. Walaupun masih kagok jadi tontonan satu lapangan bola barusan. Dia ambil tiket saya, mengembalikan kartu identitas kepegawaian dan KTP lalu masuk ke dalam. Saya tetep ga protes tiket saya dibawa masuk. Lalu dia kembali membawa tiket dengan alasan telah di fotokopi. Sejam pun berlalu. Perempuan muda tamil Malaysia sudah diantar kembali ke keluarganya. Saya merasa perut saya kembali berontak pengen setoran awal (kliring pagi). Tanpa basi-basi, saya ijin ke toilet. Si officer berseragam, mengijinkan dan meminta petugas juniornya mengantar saya. Lebih tepatnya siyh, mengawal saya ke toilet. Karena dia tetap berada di depan toilet ketika saya buang sauh.....lega bener perut. Saya jadi teringat film dokumenter nya NGC (menyelundup lewat usus)...serem. Pas setelah bersih-bersih, saya pun kembali dikawal ke ruangan sebelumnya. duduk lagi. Saya sudah dzikir dan baca-baca lah biar hati tenang. Karena kasihan istri, anak dan keluarga di luar, pasti khawatir.
Pas saya kembali dari toilet, masuklah sepasang arab. Sepertinya suami istri. Dan kembali diinterogasi pria kurus "di bully" tadi. Si Arab ini tidak kalah gertak, dia protes kalau bicara jangan cepat-cepat dia ga ngerti bahasa inggris lo... katanya....Curi-curi dengar, ini arab adalah Mahasiswa PhD di Malaysia dan  week end-an lah. Bahasa inggrisnya bagus dan karena dia masuk dengan istrinya, jadi dia tidak tersandera seperti saya. Istri saya diluar, ini dia bawa istri. Kalaupun ditolak masuk singeplur bisa cabut langsung. Lha saya mau ngocol gimanaaaaa? bisa panjang urusannya.
Waktu sudah lewat pukul 12 siang, belum ada tanda-tanda saya akan dilepas dalam waktu dekat. ruangan pun semakin ramai. Ada orang Indonesia juga yang masuk, dia bilang dia sudah sering kena tahan di imigrasi, hanya karena di paspor namanya tunggal. Misalnya di passport tertulis Cecep saja tidak ada nama famili (apa orang harus dipaksa bernama famili gitu, Cecep Surecep-baru boleh masuk). Dia bercerita kalau di Changi verifikasinya cepat, gak kayak disini lambat dan sedikit bertele-tele; sedikit curcol "cecep" (nama disamarkan) ke saya. Sedih juga lihat ibu-ibu dengan nenek lansia tadi, ada yang lebih sedih lagi, ada bibi-bibi emban bawa dua bocah umuran 7 dan 9 tahun, masuk juga ke dalam. Wah tambah gak jelas kriteria nya yang masuk ke dalam. Si nama tunggal Cecep, sepertinya orang kaya, tidak bertampang kriminil, dandanan ala liburan dan cukup bermartabat. Ditahan. Perempuan muda tamil, yang masuk bareng saya juga tidak terlihat akan bekerja di singeplur, terlihat terdidik, dandanannya patut dan anak sekolahan. Â Lha ...mahasiswa PhD Arab dan Pasangan juga terlihat jauh dari donatur teroris internasional. Lha ...saya sendiri, dah jelas, KTP, Kartu identitas pegawai, anak-istri dan keluarga jelas, tiket pulang ada. Ini kok ditahan juga. Saya jadi berpikiran, sebegitu parno-nya kah negara ini terhadap tamunya. Sampai sabtu pagi dikerahkan polisi anti huru-hara bersenjata lengkap setingkat pleton diposisikan diantara wisatawan. Dimana banyak anak-anak, nenek-nenek, wanita dan lansia. Walaupun akhirnya jam 2 siang saya diloloskan dan kembali bersama keluarga....
yang tidak saya terima adalah:
1. Saya di tempatkan dikotak yang terlihat oleh para pengantri visa on arrival-voa lainnya. Sehingga terlihat seperti penjahat, terdakwa dan TSK teroris.