Mohon tunggu...
Eva Rosita
Eva Rosita Mohon Tunggu... Lainnya - Art and Education

Art, Linguistics, and Education

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara USBN, UN, dan Kejujuran

28 Maret 2017   09:16 Diperbarui: 28 Maret 2017   21:00 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sederetan nama sekolah dan siswa yang diisukan membocorkan naskah Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SMA tersebar melalui broadcast di salah satu media sosial pekan lalu. Kecurangan yang terjadi di wilayah Jabodetabek ini tentu meninggalkan pertanyaan, kenapa banyak sekolah top yang masuk ke dalam daftar tersebut, dan siapa dalang dari kebocoran naskah yang diwanti-wanti dijaga kerahasiannya ini.

Lalu mengapa penyakit curang dalam ujian ini tidak kunjung sembuh? Jauh sebelum USBN ditetapkan, terdapat istilah Ujian Nasional (UN) yang  pertama kali diberlakukan pada tahun 2003. Momen evaluasi ini kontan menjadi momok menakutkan bagi siswa, guru, sekolah, dan orangtua. Bahkan beberapa tahun ke belakang terdapat aksi ekstrim bunuh diri akibat depresi karena tidak lulus UN padahal biasanya selalu langganan rangking kelas atau pernah menang kejuaraan taraf nasional dan internasional. Ujian ini seakan menjadi hakim bagi keberlangsungan masa depan siswa yang ditentukan dari penguasaan beberapa mata pelajaran saja.

Untungnya kebijakan UN sebagai penentu kelulusan berubah,  yang katanya seiring dengan pergantian Meteri Pendidikan. UN kemudian lebih berfungsi sebagai pemetaan mutu saja. Namun baru sedikit bernapas lega, muncullah USBN yang belakangan menjadi primadona yang sayangnya lebih banyak dikeluhkan. Semua pihak menjadi khawatir karena terlalu banyak rentetan ujian yang harus dilewati supaya bisa menyelesaikan sekolah. Rasanya sangat kontradiktif dengan hakikat pendidikan yang dari awal bertujuan untuk mengubah perilaku menjadi lebih baik malah memunculkan yang sebaliknya.

Alih-alih menjadikan lulus sebagai tujuan utama, menjalani proses dengan kerja keras dan jujur seharusnya adalah prinsip dasar ujian. Ketika mayoritas mengatakan, "Pokoknya kamu harus dapat nilai tinggi,ya! Makanya belajar, jangan main game dulu!", hanya segelintir yang berkata, "This exam is important but it's not everything. Ibu bangga kamu sudah bekerja keras. Yang penting ujiannya fokus dan jujur". Pada akhirnya  manakah yang akan lebih bermakna?

Ketimbang objek ujiannya, penanaman mindset dan karakter positif jauh lebih esensial. Ujian bukan lagi hanya alat untuk mengukur pencapaian, tetapi sebuah media untuk melatih disiplin, kerja keras, jujur, pantang menyerah, semangat berprestasi, dan cinta ilmu pengetahuan. Penuturan kalimat motivasi yang bersifat non paksaan atau ekspektasi berlebihan lebih efektif mendorong siswa agar mampu mengoptimalisasikan kemampuannya. Di samping itu, kesehatan dan stabilitas emosionalpun seharusnya menjadi prioritas. Orangtua dan sekolah perlu untuk mengamati dan memberikan perhatian khusus agar siswa bisa menjalani ujian dengan nyaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun