Perbandingan kerap dikaitkan dengan kompetisi dan upaya untuk memotivasi, namun siapa sangka hal ini juga bisa dikategorikan sebagai perilaku toxic. Percaya, nggak? Mari kita flashback ke masa kecil ketika kita dibandingkan dengan anak tetangga atau dengan saudara. Bukannya merasa termotivasi, malah jadi merasa semakin tidak berharga dan kecil hati. Lalu saat di kelas, ketika guru bilang, "coba tiru dong si A, pinter, sopan, baik". Bukannya terpacu untuk lebih berprestasi, malah timbul persepsi, "yaa...si A kan sempurna, kan kita cuma remahan rengginang doang". Kemudian, belum lagi perbandingan yang umumnya terjadi di tempat kerja dalam bentuk pujian secara berlebihan (over-praising) atau sebaliknya memandang rendah (underestimate), yang sayangnya malah menjadi kontraproduktif terhadap kemajuan tim ataupun perusahaan. Hal ini juga bisa memicu ketidakstabilan kondisi mental yang berimbas pada penurunan performa, krisis kepercayaan diri, dan hilangnya rasa berharga terhadap diri sendiri. At the end, nobody liked to be compared, Fergusso!Â
Dalam sebuah kasus ekstrim, perbandingan antar individu bisa menimbulkan efek berkepanjangan yang berimbas pada ketidakpercayaan terhadap kapasitas diri, terbentuknya rasa tidak mampu, Â tidak puas, sehingga muncul ujaran "we'll never be enough for you, I'm not worthy, there's no place for me to be here".Â
Kendati perasaan tersebut seketika muncul dan tidak bisa dihindari, namun selalu ada acara untuk membangun kembali konsep diri yang sesungguhnya. Pemilihan dan pemilahan antara opini valid dengan yang bersifat subjektif penting untuk dilakukan karena tidak sepenuhnya perbandingan yang dilakukan oleh orang sekitar tepat karena biasanya hanya mereprentasikan satu bagian dari kualitas saja tanpa mempertimbangkan kondisi dan timeline yang berbeda dari antar individu. Untuk membantu membangun kembali konsep diri yang melemah, beberapa pertanyaan dapat dijadikan sebagai refleksi, seperti, "apakah pernyataan yang dilontarkan orang tersebut sepenuhnya benar, poin apa yang sebenarnya disoroti, kelemahan apa yang diterima, kualitas apa yang perlu ditingkatkan (untuk kebaikan diri sendiri, bukan untuk mengalahkan subjek perbandingan atau memenuhi ekspektasi orang lain), dan apa yang sudah baik saat ini".
Beberapa alternatif upaya juga dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi mental agar kembali sehat dan produktif. Misalnya menuliskan afirmasi yang membuat  diri berharga, melakukan tehnik pengelolaan emosi seperti mengatur nafas dengan pola 4-7-8 (menarik nafas dalam 4 hitungan, menahannya dalam 7 detik, dan mengeluarkannya dalam hitungan 8 detik), melihat tayangan bermuatan positif yang membawa kebahagiaan, melakukan self-talk, melakukan aktivitas fisik untuk mengatasi stress, dan membandingkan pencapaian terdahulu dengan yang didapatkan sekarang. Ini penting ditempuh untuk mengelola emosi dan pikiran agar kita dapat menginvestasikan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang lebih diprioritaskan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H