Mohon tunggu...
Evelyn LidyaAprilia
Evelyn LidyaAprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahsiswa

Pegiat Kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Penyebab Stunting dan Pencegahan Risiko Gagal Tumbuh Pada Anak

1 Januari 2025   23:20 Diperbarui: 1 Januari 2025   23:03 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat gizi buruk kronis sehingga tinggi balita tidak sesuai dengan umurnya. Kekurangan gizi ini terjadi sejak dalam kandungan dan pada awal masa kelahiran. Akan tetapi, stunting dapat terlihat di usia 2 tahun. Seorang balita bisa dikatakan mengalami stunting bila tinggi nya kurang dari -2 standar deviasi stunting menurut WHO (Aurima et al., 2021). Dampak buruk pada stunting terbagi menjadi efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Efek yang ditimbulkan dalam jangka pendek antara lain adalah terganggunya perkembangan otak dan kecerdasaan, gangguan tumbuh kembang fisik serta gangguan metabolisme. Sementara itu efek jangka panjang nya adalah menurunnya kemampuan kognitif dan pertasi belajar, menurunnya imunitas tubuh dan risiko tinggi untuk mengidap penyakit degenerative seperti diabetes, obesitas, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, 2017).

Kementerian Kesehatan Indonesia menyatakan bahwa prevalensi stunting Indonesia pada tahun 2021 mencapai 24,4%. Pada tahun 2022 prevalensi stunting menurun ke angka 21,6% (Rokom, 2023). Tahun 2023 prevalensi stunting ini turun dengan selisih persentasi yang sangat kecil jika dibandingkan dengan tahun 2022 yaitu di angka 21,5%. Itu berarti prevalensi stunting hanya turun 0,1% saja dan ini tidak memberikan dampak yang signifikan (Tarmizi, 2024). Persentase tersebut masih tergolong tinggi. Pasalnya, WHO memiliki standard prevalensi stunting yang terletak di angka kurang dari 20% (Rokom, 2023). Penurunan prevalensi stunting yang tidak signifikan di tahun 2023 harus menjadi bahan evaluasi dari upaya pemerintah untuk menangani kasus stunting ini.

Faktor terbesar stunting adalah malnutrisi kronis pada balita atau pada ibu hamil. Akan tetapi, banyak faktor pendukung yang memengaruhi stunting. Faktor stunting terdiri dari beberapa faktor yang saling memengaruhi. Sayangnya, pemerintah seringkali hanya berfokus pada satu faktor penyebab stunting sehingga upaya dalam menekan prevalensi stunting tidak begitu signifikan. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi stunting adalah sebagai berikut:

1. Edukasi

Permasalahan stunting dimulai dari masalah konsepsi pada ibu. Kurangnya pengetahuan tentang stunting pada ibu berperan besar pada kasus stunting anak. Pada saat hamil, layanan Ante Natal Care (Pelayanan selama kehamilan), Post Natal Care (Layanan pasca kehamilan) sangat penting untuk mencegah anak stunting. Layanan tersebut sangat memengaruhi pada pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif, pemberian suplemen zat besi dan pemberian MPASI (Makanan Pendamping Air Susu Ibu) (Nirmalasari, 2020).

2. Sanitasi

Salah  satunya  adalah  kebiasaan  buang  air  besar  di tempat terbuka seperti sungai atau kebun. Kebiasaan  buang  air  besar  di  tempat  terbuka  telah  terbukti  berhubungan dengan  peningkatan  kejadian stunting. Hal  ini  disebabkan  karena  kotoran  manusia dapat menjadi media bagi  lalat  ataupun  serangga  lainnya  untuk menyebarkan bakteri pada   peralatan   rumah   tangga   terutama   peralatan   makan,   sehingga   berisiko menyebabkan  diare.  Diare  berulang  dan  sering  pada  anak-anak  dapat  meningkatkan kemungkinan  stunting  dikarenakan  hilangnya  nutrisi  yang  telah  dan  akan  terserap oleh tubuh serta penurunan fungsi dinding usus untuk penyerapan nutrisi. Selain itu, kotoran   manusia   juga   dapat   mengkontaminasi   lingkungan   sekitarnya,   sehingga dampaknya  tidak  hanya  terhadap  satu  orang  atau  satu  keluarga,  tetapi  juga  orang-orang lain di sekitar mereka (Nirmalasari, 2020).

3. Ekonomi

Orang tua dengan pendapatan keluarga yang memadai akan memiliki kemampuan untuk menyediakan semua kebutuhan primer dan sekunder anak. Keluarga dengan status ekonomi yang baik juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Anak pada keluarga dengan status ekonomi rendah cenderung mengkonsumsi makanan dalam segi kuantitas, kualitas, serta variasi yang kurang. Status ekonomi yang tinggi membuat seseorang memilih dan membeli makanan yang bergizi dan bervariasi.(Hadi, Kumalasari dan Kusumawati, 2019).

4. Sosial Budaya

Budaya dapat mempengaruhi persepsi masyarakat karena terkait dengan kebiasaan lingkungan. Itulah yang menyebabkan masyarakat memilih keputusan berdasarkan keyakinan atau kebiasaan mereka. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa ada budaya-budaya di masyarakat yang tidak mengikuti prinsip gizi wanita hamil. Ada beberapa kebudayaan yang melarang ibu hamil untuk tidak makan makanan tertentu yang justru diperlukan oleh ibu hamil dan melarang ibu untuk tidak menyusui bayi nya karena dianggap dapat membuat anak menjadi lemah. Budaya yang tidak sejalan dengan prinsip gizi ibu hamil sangat menghambat upaya pencegahan stunting  (Sulaningsi and Fajar, 2023). 

PENCEGAHAN

Dari banyak faktor yang berada di atas, terdapat upaya pencegahan yang bisa dilakukan keluarga. Stunting adalah masalah multidimensional; yang berarti stunting adalah masalah yang memiliki banyak faktor yang saling berhubungan. Pencegahan stunting juga harus meliputi semua faktor-faktor penyebab yang menjadi sumber masalah. Beberapa kasus stunting memiliki akar permasalahan yang berbeda-beda. Hal ini juga menjadi bahan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah stunting agar dapat diselesaikan dengan penanganan tepat.

Dalam penanganan stunting ini ada beberapa pihak yang terlibat. Ada lingkungan dan keluarga, ibu hamil dan menyusui serta anak. Hal yang harus benar-benar kita perhatikan pertama kali adalah ibu hamil. Pendidikan tentang risiko stunting harus didapatkan sedini mungkin. Ibu hamil juga harus mendapatkan layanan Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) dan Post Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu setelah melahirkan) (Nirmalasari, 2020).

Ibu hamil perlu mendapatkan kecukupan gizi yang baik. Kecukupan gizi ibu sangat berpengaruh terhadap bayi yang dilahirkan. Substansi makanan yang berfungsi sebagai sumber energi, pertumbuhan, sumber zat pembangunan serta sebagai pertahanan dan perbaikan jaringan tubuh. Zat gizi terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk hidup sehat. Kekurangan gizi terhadap ibu hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan sel otak. Ibu hamil harus mengonsumsi ragam pangan yang cukup untuk memenuhi energi, protein dan zat gizi mikro (vitamin dan mineral) karena nutrisi tersebut berguna untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan serta cadangan selama masa menyusui (Nasriyah and Ediyono, 2023)

Sistem pendukung pencegahan stunting tidak hanya berasal dari keluarga inti saja, melainkan dari lingkungan sekitar. Lingkungan dapat mempengaruhi pada ibu hamil dan menyusui pada pengambilan keputusan pada ibu hamil dan menyusui terkait tentang asupan gizi peran. Dukungan lingkungan sangat penting bagi kenyamanan ibu hamil dan menyusui (Ken et al dalam Sulaningsi and Fajar, 2023).

Pemberian ASI ekslusif pada bayi sangat penting untuk diperhatikan. ASI berperan penting terhadap pertumbuhan bayi karena terdapat kalsium yang cukup tinggi dan mudah dicerna oleh bayi jika disbandingkan susu formula. Selain itu, pemberian ASI ekskulsif memberikan nutrisi penting pada bayi karena ASI berdampak pada perkembangan imun dan hormon yang membantu pertumbuhan bayi. Dalam ASI terdapat antibodi yang dapat mengoptimalkan imun tubuh dan kandungan oligosakarida yang dapat mencegah patogen serta toksin yang menyerag tubuh bayi (Permatasari, Simbolon and Yunita, 2024). Setelah bayi bertambah usia hingga menjadi balita, maka untuk pemenuhan gizi tersebut dibutuhkan mpasi (Makanan Pengganti Air Susu Ibu). Defisit gizi pada anak dapat meningkatkan risiko EED (Environmental Enteric Dysfunction). EED (Environmental Enteric Dysfunction) merupakan gangguan struktur dan fungsi usus halus yang disertai dengan pemendekan villi usus, infiltrasi sel inflamasi dan hiperplasia kripta. EED ini juga disebabkan oleh paparan mikroba dan parasit dari makanan dan air akibat sanitasi yang buruk (Kemenkes RI, 2022).

Sanitasi yang buruk dapat memperparah kondisi stunting. Buang air besar sembarangan dapat menyebabkan penyebaran bakteri pada lingkungan. Bakteri bakteri tersebut dapat masuk kedalam tubuh melalui lalat, kontak langsung dengan bakteri atau juga dari sentuhan tangan yang tidak higienis yang mengakibatkan makanan atau air terpapar bakteri yang dapat mengganggu kinerja saluran cerna (Nirmalasari, 2020). Dalam upaya mengatasi sanitasi buruk, penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dapat dilakukan. Upaya PHBS antara lain seperti mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, penggunaan air bersih, ketersediaan jamban, kepadatan penghuni rumah, tidak merokok di dalam rumah serta membuang sampah pada tempatnya (Apriani, 2018).

Kasus stunting sangat menjadi banyak perhatian masyarakat. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk menekan angka prevalensi stunting. Stunting menjadi isu yang sangat penting untuk diselesaikan karena stunting dapat menyebabkan gangguan terhadap tumbuh kembang anak. Maka dari itu, pendidikan tentang risiko dan pencegahan stunting sangat perlu dilaksanakan sebagai bentuk pencegahan dini agar di kemudian hari, prevalensi stunting akan turun dan mewujudkan Indonesia tanpa malnutrisi.

DAFTAR PUSTAKA

Apriani, L. (2018) ‘Hubungan Karakteristik Ibu, Pelaksanaan Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Dan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) Dengan Kejadian Stunting’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(4), pp. 1–8. Available at: http://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm.

Aurima, J. et al. (2021) ‘Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Indonesia’, Open Access Jakarta Journal of Health Sciences, 1(2), pp. 43–48. Available at: https://doi.org/10.53801/oajjhs.v1i3.23.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun