Tidak dapat dipungkiri, meskipun dihadapkan dengan banyak hal yang tidak menyenangkan, isolasi mandiri selama wabah coronavirus ini memberikan saya hal yang baik: waktu untuk mengamati dan berpikir mengenai fenomena yang terjadi di tengah krisis ini. Hal-hal yang saya dapatkan ini bukanlah hal baru, melainkan mengonfirmasi berbagai kebijaksanaan yang pernah dicetuskan berbagai tokoh sebelumnya. Orang bilang pengalaman adalah guru terbaik. Dalam kasus ini, berada di tengah krisis memberikan saya pelajaran yang tidak bisa saya mengerti jika hanya membaca buku. Ada 3 hal yang menjadi perhatian saya selama wabah COVID-19 ini yaitu:
Ujilah sistem dan pemerintahan bukanlah dengan pertumbuhan, melainkan krisis.Â
Tahun 2019 adalah tahun politik, saat pemilu dijalankan. Di tengah berbagai debat, saya sering mendengar pandangan, terutama dari kelas menengah dan kelas atas, bahwa siapapun orang yang duduk di pemerintahan tidak akan berpengaruh banyak kepada hidup kita, karena setiap harinya kerja keras kitalah yang menentukan keadaan hidup kita. Saat keadaan berlangsung normal, tentu saja pernyataan ini cukup valid.Â
Kita tidak dapat berharap banyak kepada pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup, dan sebaiknya kita tidak melakukan hal tersebut karena jika pemerintah bisa menyediakan, pemerintah juga bisa mengambil. Peningkatan kekayaan Negara, seperti kata Adam Smith, lebih banyak bergantung pada kebebasan warga Negara untuk memilih pekerjaan yang dapat memberikan value terbaik.Â
Tetapi, di tengah krisis seperti yang saat ini tengah berlangsung, peran pemerintah sangat terasa bagi setiap lapisan warga Negara. Semua orang menunggu langkah dan kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini. Kita sudah melihat tindakan yang diambil berbagai tokoh pemerintahan, dalam dan luar negeri dan tampak dengan sangat jelas kompetensi dan efisiensi pemimpin melalui krisis ini.
Dari sini, saya menyimpulkan bahwa pemerintahan yang baik tidak bisa dilihat pada saat normal, melainkan saat krisis. Di saat krisislah, kompetensi dan sistem yang dibuat pemerintah akan diuji. Melalui pengamatan ini, saya menyimpulkan bahwa dalam memilih pemimpin, prioritas kita seharusnya mencari orang-orang dapat menangani krisis dengan baik, kemudian baru dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Skin in the game bagi pembuat kebijakan
Nassim Nicholas Taleb menulis buku berjudul 'Skin in The Game' tahun 2017. Argumen inti dari buku tersebut adalah setiap orang harus dapat menanggung keuntungan dan kerugian dari tindakannya. Beliau mengambil contoh penguasa zaman dulu, di mana raja-raja harus berada di barisan depan saat peperangan dan membandingkan dengan militer saat ini, di mana orang yang mengambil keputusan untuk berperang tidak ada di medan peperangan melainkan aman di kantornya.Â
Beliau kemudian memperluas argument ini ke berbagai bidang, dan menemukan banyak akademisi ataupun pembuat kebijakan membuat prediksi atau kebijakan tidak mendapatkan konsekuensi apapun jika mereka melakukan kesalahan ataupun merugikan pihak lain melalui kebijakan yang dibuatnya. Nassim Taleb berargumen jika semua orang dapat merasakan downside dari tindakan yang dilakukannya, kita akan memiliki sIstem yang lebih baik dan moral.Â
Kita dapat melihat ide ini di dunia nyata saat UK mengusulkan melawan corona melalui herd immunity, yang berarti membiarkan banyak orang terinfeksi sebuah penyakit sampai akhirnya sebuah komunitas dapat membentuk imunitas alami. Banyak pihak menentang kebijakan ini dengan alasan moral, bahwa dengan membiarkan penyakit menyebar, akan ada sebagian orang yang tidak dapat selamat, apakah moral jika kita dengan sengaja membiarkan ada orang yang dibiarkan berkorban?Â
Kita kemudian dapat melihat bagaimana kelanjutan usulan kebijakan ini berhenti saat perdana menteri Inggris yaitu Boris Johnson terinfeksi COVID-19. Tiba-tiba usulan kebijakan yang berbahaya ini berhenti. Dari sini, saya melihat sendiri bahwa Nassim Taleb benar: jika pembuat kebijakan dapat merasakan sendiri akibat kebijakannya, kita menciptakan filter alami bagi kebijakan yang buruk dan/atau tidak bermoral.