kompasiana.com - Pilgub Jateng 2024 menjadi sorotan penting dalam dinamika politik Indonesia terkhusus wilayah jawa tengah, terutama dengan munculnya dua pasangan calon (Paslon) yang memiliki latar belakang dari institusi Polri dan TNI. Ahmad Luthfi seorang pensiunan jedral Polri dan mantan Kapolda mengusung pasangan Taj Yasin Maimoen, yang dikenal dengan sapaan Gus Yasin. sementara Andika Perkasa mantan panglima TNI mengusung pasangan Hendra Prihadi. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang netralitas dua lembaga negara yang seharusnya tidak terlibat dalam politik praktis.
Netralitas Polri dan TNI adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi. Keduanya berperan sebagai penjaga stabilitas dan keamanan, bukan sebagai alat politik. Dengan adanya latar belakang dua paslon dari institusi tersebut, masyarakat khawatir akan terjadinya politisasi yang dapat merusak integritas kedua lembaga. Jika tidak ditangani dengan bijak, situasi ini bisa menciptakan ketegangan dan potensi konflik di masyarakat.
Keterlibatan Polri dan TNI
Dalam sejarah politik Indonesia, keterlibatan TNI dan Polri dalam dunia politik selalu menjadi isu yang sensitif. Masyarakat masih mengingat masa-masa di mana kedua institusi ini memiliki pengaruh yang kuat dalam berbagai keputusan politik. Namun, dengan reformasi yang telah berlangsung, harapan untuk melihat Polri dan TNI berperan netral dalam proses demokrasi menjadi lebih kuat.
Netralitas tidak hanya berarti menjauhi posisi politik, tetapi juga melibatkan sikap profesional dalam menjalankan tugas. Polri, sebagai lembaga penegak hukum, harus memastikan bahwa semua proses pemilihan berlangsung adil, bebas, dan tanpa intimidasi. Sementara TNI, sebagai alat pertahanan negara, memiliki tanggung jawab untuk menjaga keamanan selama proses pemilihan berlangsung. Dalam konteks ini, kedua institusi diharapkan untuk mengedepankan prinsip keadilan dan transparansi.
Potensi Konflik dan Dampaknya
Ketika dua institusi besar ini melibatkan diri dalam kompetisi politik, dampaknya bisa meluas. Politisasi yang terjadi dapat merusak citra Polri dan TNI di mata publik. Rakyat bisa kehilangan kepercayaan pada kedua lembaga ini jika mereka merasa bahwa Polri dan TNI berpihak pada salah satu pasangan calon (paslon). Oleh karena itu, menjaga jarak dan netralitas sangat penting.
Isu-isu yang muncul selama kampanye, seperti penyebaran hoaks atau berita yang menyesatkan, juga menjadi tantangan bagi netralitas Polri dan TNI. Mereka harus bisa bertindak cepat untuk meluruskan informasi  yang salah dan mencegah berkembangnya sentimen negatif yang dapat memecah belah masyarakat. Keberanian untuk bersikap netral dan melawan segala bentuk politisasi adalah kunci dalam menjaga reputasi dan integritas kedua institusi ini.
Harapan Masyarakat
Masyarakat berharap agar anggota Polri dan TNI tetap moderat dalam menentukan sikap. Kepemimpinan yang kuat dan bijak dari para petinggi kedua institusi ini menjadi kunci untuk menciptakan kondisi yang aman selama Pilkada. Mereka harus mampu membedakan antara tugas sebagai anggota institusi negara dan aspirasi politik pribadi.