Mohon tunggu...
Evayanti Yulianaputri
Evayanti Yulianaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswi Prodi Sosiologi Unej

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Inspiratif Ibu Tutik, Seorang Tenaga Pendidik yang Ingin Memajukan Pendidikan Bagi Kaum Difabel

25 November 2022   12:22 Diperbarui: 25 November 2022   12:37 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Tutik adalah seorang tenaga pendidik di SLB C TPA. Beliau lahir di Kota Blitar dan berasal dari keluarga sederhana. Meski demikian, ia tetap memiliki tekad yang kuat dalam mengenyam pendidikan. Perjuangan beliau dalam mengejar pendidikan tinggi sangatlah menginspirasi. Seperti halnya ketika hendak menempuh kuliah, beliau tidak diizinkan untuk kuliah oleh orang tuanya karena kendala biaya. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi tekad Ibu Tutik untuk terus berjuang mendapatkan pendidikan. Sesuai dengan ceritanya "dulu saya waktu mau kuliah tidak diperbolehkan karena kendala biaya, terus saya kan dulu punya adik-adik yang masih kecil. Tapi saya tetep kekeh untuk kuliah karena ingin punya banyak wawasan. Tapi gitu, saya cuma dijatah uang sedikit oleh orang tua. Kalau misal disuruh beli buku sama dosen, saya pergi ke perpustakaan untuk membaca buku karena tidak punya uang" ujarnya. Perjuangan beliau dalam menempuh pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain itu, tekad dan prinsipnya dalam hal memajukan pendidikan bagi anak difabel patut kita tiru.

Setelah lulus dari perguruan tinggi Ibu Tutik kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikarenakan banyak lembaga yang meragukan kapasitas dan kemampuan beliau dalam mengajar. Tidak hanya itu latar belakangnya yang sebagai lulusan PLB menjadi faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan. Kondisi tersebut membuat beliau mencoba mendaftar ke lembaga lain untuk mendapatkan pekerjaan. Saat itu, pada tahun 1990 beliau mencoba mendaftar di SLB C TPA akan tetapi tidak diterima. Kemudian beliau mendaftar di Universitas Soeradji untungnya diterima akan tetapi hanya digaji Rp. 50.000 per bulannya. Beliau merasa dengan uang tersebut tidak cukup untuk membiayai hidupnya di tanah perantauan. Alhasil saat itu, beliau mendaftar kembali di SLB C TPA untuk menjadi guru tetap. Akhirnya bisa diterima meskipun pada saat itu masih menjadi guru sukwan. Menjadi tenaga pendidik di dua lembaga sekaligus tidak membuatnya patah semangat. Hal ini dikarenakan beliau mengutamakan mengajar sebagai ibadah dan anugerah. Perjuangannya dalam menjadi tenaga pendidik terbayar pada tahun 2012. Dimana pada tahun itu, beliau resmi menjadi kepala sekolah di SLB C TPA sampai sekarang. Menjadi kepala sekolah di lembaga yang mengurus anak difabel tentunya memiliki hambatan dan tantangan. Meski demikian, hal ini tidak menyurutkan semangat beliau untuk terus memajukan pendidikan bagi kelompok difabel.

dokpri 
dokpri 

Ibu Tutik memiliki tekad untuk memajukan pendidikan bagi kelompok difabel. Akan tetapi, hal ini sering kali terdapat hambatan dan tantangan. Salah satunya berkaitan dengan fasilitas belajar di SLB C TPA. Fasilitas memiliki peran penting sebagai proses transfer ilmu antara tenaga pendidik dengan anak didik. Keberadaan dan kelengkapan fasilitas tentunya sangat membantu keberhasilan belajar. SLB C TPA adalah lembaga pendidikan yang berada di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Lembaga ini sampai sekarang masih menumpang di kantor PMI Jember. Letaknya tepat berada di belakang kantor PMI Jember. Berkaitan dengan fasilitas nampaknya SLB ini kurang memiliki fasilitas yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari jumlah ruang kelas yang terbatas padahal memiliki jumlah siswa yang cukup banyak. Selaras dengan pemaparan Ibu Tutik selaku kepala sekolah di SLB C TPA ini "kalau ruang kelas itu mengikuti sarana ada 6 kelas karena kita juga terbatas sehingga begini ngatur kelasnya, kelas 1 kelas 2, misalnya begini kemampuannya masi kelas 1 jadi digabung ke kelas 1 yang SMP SMA kadang-kadang juga dijadikan satu tapi pembelajaran tetap sesuai dengan jenjang dan potensi anak sendiri" ucapnya. Disamping itu, kamar mandi terlihat seperti tidak dirawat dan kran air yang sudah tidak berfungsi. Fasilitas perpustakaan juga rusak dan sedang dalam renovasi, sayangnya renovasi tersebut sempat terhenti karena kendala finansial. Disamping itu, halaman sekolah disana sangat sempit sehingga tidak cukup untuk menampung aktivitas siswa. Mirisnya, di SLB ini tidak memiliki fasilitas ruang tunggu untuk wali murid yang hendak menjemput dan menunggu anaknya di sekolah. Akibatnya, para wali murid harus duduk di teras depan kelas. Sebagai kepala sekolah tentunya hal ini menjadi kekhawatiran Ibu Tutik untuk menciptakan iklim yang edukatif bagi kelompok difabel. Kurangnya fasilitas di SLB C TPA ini membuat Ibu Tutik kerap melakukan beberapa cara untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Ibu Tutik beberapa kali telah mengajukan bantuan ke pemerintah untuk memperbaiki fasilitas pendidikan di SLB C TPA. Akan tetapi, pemerintah tidak langsung memberikan bantuan dana karena basis dari SLB C TPA adalah swasta. Bahkan pertahunnya, pemerintah memotong dana bantuan yang diajukan oleh pihak sekolah. Meski demikian, Ibu Tutik tetap berusaha mengajukan bantuan salah satunya dalam meminta perbaikan tiga ruang kelas, akan tetapi oleh pemerintah hanya dibantu sejumlah satu kelas. Selain itu, beliau juga mengusahakan agar setiap satu tahun pemerintah bisa mendistribusikan laptop sebagai pelengkap belajar, akan tetapi hal ini masih sulit direalisasikan. Sesuai dengan pemaparan Ibu Tutik "kalau dirasa, belum ya... jadi kita memang swasta dan pemerintah mulai mendeskriminasikan bantuan swasta, mulai dikurangi kalau di negeri pun tanpa minta pasti dikasih, kalau kita minta pun kadang dikasih sedikit, sehingga semisal renovasi saya ajukan beberapa kali juga baru dapat gedung itu tapi kita 3 ruang tapi dibantu hanya 1 kelas saja, juga bantuan-bantuan lain ya sudah lama tidak dapat bantuan, pada saat pelaksanaan juga bisa memenuhi tapi gabisa maksimal jadi dianggaran abot, kita juga menargetkan punya laptop 1 tahun 1, juga memilih alat-alat tulis mungkin krayon dan sebagainya, sebatas anggaran juga di pilah-pilah untuk gaji guru, pengembangan guru, sarana prasarana, dan pengembangan layihan siswa seperti itu, sehingga kurang maksimal memenuhi sarana prasarana di sekolah tapi itu semua menyulitkan guru-guru semua, guru tetap semangat menggunakan sarana prasarana seadanya dengan kreativitas" ucapnya.

Tindakan yang dilakukan Ibu Tutik selaras dengan teori pilihan rasional yang dinarasikan oleh Friedman dan Hechter. Ritzer, dalam bukunya berjudul Teori Sosiologi Modern menjelaskan aktor pasti melakukan tindakan dalam mencapai tujuannya. Tindakan yang dilakukan aktor berasal dari pilihan yang berupa (nilai, keperluan) sehingga tindakan yang dilakukan dalam pencapaian tujuan harus sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. Menurut teori pilihan rasional, terdapat dua hal yang memaksa dilakukannya tindakan tersebut. Pertama adalah keterbatasan sumber, maksudnya setiap aktor pasti memiliki kesempatan akses yang berbeda untuk mencapai tujuan tersebut. Seperti aktor yang memiliki akses yang besar maka tujuan akan mudah tercapai namun akses yang sedikit akan membuat tujuannya juga sulit tercapai. Kedua, sumber pemaksanya adalah lembaga sosial seperti sekolah, agama, dan lain sebagainya. Dimana didalamnya terdapat aturan yang mengatur aktor untuk memenuhi tujuan tertentu sesuai tujuan dari lembaga serta terdapat hukuman atau sanksi yang membatasi aktor agar tidak melakukan tindakan untuk mencapai tujuan yang lain. Sama halnya dengan tindakan yang dilakukan Ibu Tutik yaitu kerap berusaha mengajukan bantuan pada pemerintah sebagai pilihan rasional yang diperhitungkan. Secara rasional, beliau melakukan tindakan tersebut untuk memenuhi fasilitas pendidikan anak difabel di SLB C TPA yang bertujuan untuk memudahkan siswa dalam mengakses pembelajaran dan mempermudah transfer ilmu dari pendidik ke anak didik. Hal tersebut beliau terus lakukan meskipun dalam pelaksanaannya tidak menjamin akan diberi bantuan oleh pemerintah.

Berkaitan dengan itu semua, Ibu Tutik selaku Kepala Sekolah SLB C TPA ini berharap pemerintah bisa memberikan bantuan semestinya, meskipun basis SLB ini adalah swasta. Beliau sering kali khawatir dengan keberlanjutan sekolah ini, mengingat yayasan ini adalah yayasan kecil yang masih digandeng oleh pihak PMI. Berbeda halnya dengan yayasan besar, yang bisa dengan mudah membangun fasilitas pendidikan meskipun tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Tidak hanya itu, beliau juga berharap pemerintah bisa memberikan pelatihan pada para guru sesuai dengan spesifikasi bidang-bidang tertentu. Salah satunya di bidang olahraga, keterampilan membuat kerajinan, dan masih banyak lagi. Tidak lupa, pemerintah juga bisa menambahkan jumlah tenaga pendidik di SLB ini, mengingat jumlah tenaga pendidik sangat minim yang menyebabkan para guru kewalahan dalam mengajari siswa. Terakhir beliau berharap dengan diperbaikinya fasilitas pendidikan di SLB C TPA ini bisa mewujudkan prinsip dan tekadnya dalam memajukan pendidikan bagi kelompok difabel.

Penulis: 

1. Evayanti Yuliana Putri (200910302001)

2. Nashoikhuddiniyah (200910302011)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun