Mohon tunggu...
Evayanti Yulianaputri
Evayanti Yulianaputri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswi Prodi Sosiologi Unej

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kurangnya Perhatian Pemerintah: Difabel Ini Tidak Pernah Merasakan Dunia Pendidikan Selama 34 Tahun

18 November 2022   13:32 Diperbarui: 18 November 2022   13:34 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan adalah salah satu aspek yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Keberadaan pendidikan bisa membuat manusia mengerti akan banyak hal berkaitan dengan wawasan serta keterampilan. Pendidikan menjadi salah satu hak warga negara tanpa melihat latar belakang dan kondisi, begitu juga dengan para penyandang disabilitas. Para difabel memang memiliki keterbatasan fisik dan mental, akan tetapi mereka memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa serta tetap berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Realitas tersebut perlu tentunya diperhatikan oleh pemerintah, mengingat pendidikan bagi difabel belum sepenuhnya merata. Banyak dari difabel yang masih belum mendapatkan pendidikan salah satunya keluarga difabel yang berasal dari keluarga kelas bawah.

Seperti yang terjadi pada Nise, seorang difabel berat yang berusia 34 tahun dan belum pernah mendapatkan pendidikan. Nise berdomisili di Desa Kranjingan Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Letaknya tidak jauh dari pusat kota dan dekat dengan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Srikandi IBI Jember. Nise tinggal bersama kedua orangtua dan saudaranya. Nise merupakan anak dari pasangan Bapak Ma'i dan Ibu Rumila. Ia adalah anak keenam dari enam bersaudara. Setiap hari Nise dirawat oleh ibu dan saudaranya. Sedangkan ayahnya bekerja sebagai buruh tani perkebunan. Terkadang ibunya juga ikut bekerja sebagai buruh kedelai untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, Nise hanya bisa terbaring di tempat tidur karena kondisi fisiknya. Kondisi tersebut membuat Nise tidak pernah merasakan dunia pendidikan. Padahal pendidikan adalah hak yang harus didapat olehnya.

Sementara itu, berkaitan dalam hal pendidikan Ibu Rumila berharap bisa memberikan pendidikan bagi Nise khususnya apabila mendapatkan bantuan dari pemerintah. Disamping itu, beliau juga sadar apabila Nise disekolahkan pasti akan mengalami kesulitan karena tidak bisa berbicara layaknya manusia normal. Kondisi ini membuat Ibu Rumila hanya bisa pasrah dengan kondisi anaknya, bahkan pada waktu senggang beliau sering kali mengajari Nise dalam hal menulis, sholat, dan berbicara sepatah-patah kata. Sesuai dengan penuturan beliau "Coret coret bisa, gambar itu gambar itu dibuku yang saya kasih. Saya yang mengajari ngomong 'allah', gitu aja kalau yang lain ndak bisa, allahu akbar katanya. Nanti kalau wiridan, ngikutin saya, 'Allah Allah Allah'" ucapnya.

Harapan Ibu Rumila untuk memberikan pendidikan bagi Nise tampaknya memiliki hambatan dan tantangan. Salah satunya untuk memberikan pengobatan bagi Nise. Hal ini beliau lakukan mengingat apabila Nise sembuh maka ia akan mudah dalam mengakses pendidikan. Ibu Rumila telah mencoba berbagai pengobatan untuk Nise, bahkan beliau pernah ditipu oleh pengobatan abal-abal yang berada disekitar tempat tinggalnya. Selaras dengan cerita beliau "Banyak habisnya saya urut. Udah habis 450.000, ditipu itu. Kelihatannya orang itu bisa jalan dari yang ndak bisa jalan. Piring, anting, sendok, kursi saya jual, ngejar pengobatan ini. Ndak ada sehat, bohong itu orang. Pengobatannya di pasar-pasar. Katanya dipecut sama selendang orang itu bisa jalan. Makannya saya tertarik sama pengobatannya itu" ucap Ibu Rumila. Untuk memberikan pengobatan bagi Nise, Ibu Rumila sampai bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia selama dua tahun. Selain itu, beliau sempat beberapa kali menjual perhiasan dan perabotan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan keluarga sekaligus untuk biaya pengobatan Nise.

Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Termasuk didalamnya para penyandang disabilitas. Sesuai dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, dimana undang-undang ini menjamin kesempatan bagi difabel dalam segala aspek kehidupan. Berkaca pada undang-undang tersebut, tentunya diperlukan sebuah sistem dan lingkungan akademis yang inklusif serta mampu memenuhi kebutuhan difabel baik itu difabel ringan hingga difabel berat. Mirisnya, sampai saat ini pemerintah hanya melirik difabel yang sudah mendapatkan pendidikan di jenjang sekolah luar biasa. Pemerintah dalam hal ini luput dalam memberikan bantuan pada difabel berat. Salah satunya pada Nise, difabel berat yang selama 34 tahun belum pernah mendapatkan uluran tangan dari pemerintah berkaitan dengan pendidikan.

Fenomena tersebut selaras dengan teori sosiologi yaitu teori struktural fungsional yang dinarasikan oleh Talcott Parson. Parson, dalam bukunya berjudul The Social System menjelaskan jika semua sistem pasti memiliki empat fungsi penting yang diperlukan yaitu AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency (pemeliharaan pola)). Adaptation berarti semua sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Goal Attainment berarti sebuah sistem harus bisa mencapai tujuannya. Integration yaitu semua sistem harus bisa mengatur seluruh bagian-bagiannya. Latency yaitu semua sistem harus bisa memelihara dan memperbaiki setiap pola kultural yang dapat menopang terciptanya motivasi individual.  Konsekuensi ketika salah satu fungsi AGIL ini tidak berjalan maka akan menimbulkan masalah terhadap fungsi yang lain.

Dalam realitas yang terjadi pada Nise, pemerintah setempat (Kabupaten Jember) belum mampu memenuhi kebutuhan lingkungannya, yang dalam hal ini perhatian pada bidang pendidikan untuk difabel berat masih kurang dilirik. Kemudian pemerintah Kabupaten Jember belum bisa merealisasikan kebutuhan hak pendidikan untuk difabel seperti yang tertuang dalam Perda No. 7 Tahun 2016 tentang Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, pemerintah juga belum bisa mengatur bagiannya khususnya dalam melakukan pendataan dan memberikan bantuan terhadap difabel berat yang kesulitan dalam menempuh pendidikan. Terakhir, pemerintah setempat belum bisa memberikan motivasi kepada difabel berat untuk bisa survive dalam dunia pendidikan. Hal ini berakibat pada kesenjangan sosial antara difabel ringan yang sudah menempuh pendidikan di SLB dengan difabel berat seperti Nise yang belum pernah mendapatkan pendidikan selama 34 tahun. Disamping itu, realitas yang terjadi pada fenomena ini akan menyebabkan kecemburuan sosial di kalangan para difabel.

Problematika yang dialami Nise untuk mendapatkan pendidikan begitu kompleks. Kondisinya yang demikian masih belum dilirik oleh pemerintah setempat, namun Ibu Rumila memiliki harapan besar pada pemerintah untuk membantu Nise. Ibu Rumila berharap pendidikan bisa segera didapatkan oleh Nise, salah satunya dengan mendatangkan tenaga pendidik di rumahnya yang secara langsung untuk mengajari Nise. Ibu Rumila juga berharap apabila terdapat SLB yang dekat dengan rumahnya, beliau bertekad akan mengantarkan Nise di SLB tersebut. Mirisnya, hal ini hanya bisa menjadi secercah harapan Ibu Rumila mengingat kendala ekonomi masih menjadi permasalahan utama.

Penulis:

1. Evayanti Yuliana Putri (200910302001)

2. Cantika Yulia Rachmawati (200910302005)

3. Ida Matus Silmi (200910302130)

4. Gabriel Odie (200910302055)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun