Mohon tunggu...
Evawani Ellisa
Evawani Ellisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membangun Tim Mitra RTH, Merevitalisasi Ruang Terbuka Hijau

2 Desember 2017   08:52 Diperbarui: 2 Desember 2017   11:56 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1: Alun alun Yogyakarta 1857-1874 (foto koleksi Tropen Museum) dan Wilhelmina Park Weltevreden 1904 (sumber: Scott Merrillees, 2014)

Taman kota dalam tradisi kota di Indonesia

Taman kota, salah satu elemen kota yang belakangan ini menjadi primadona. Mulai dari kota besar hingga kota kecil, pengelola kota berlomba lomba menjadikan taman kota sebagai salah satu ikon andalan. Walaupun kebijakan penyediaan taman publik sebagai acuan normatif rancang kota bukan hal yang baru, taman taman kota kita baru belakangan ini menggeliat dan menunjukkan sosoknya. Mengapa baru sekarang? Apakah karena taman kota sebagai ruang bagi khalayak warga kota bukan bagian dari tradisi kota di Indonesia?

Sejauh ini, berdasarkan penelusuran terhadap bukti bukti galian arkeologis, memang belum ada temuan yang memberi gambaran tentang keberadaan taman terbuka untuk umum, kecuali taman taman yang dibangun sebagai kelengkapan istana para raja. Gagasan tentang karakteristik kota ditinjau dari dimensi struktur kota lama di Jawa ditengarai oleh keberadaan satu satunya ruang terbuka berbentuk bujur sangkar yang disebut sebagai "alun alun". Oleh penguasa, alun alun sengaja diposisikan berada di depan istana sebagai representasi eksistensi penguasa. Sesuai dengan proses pembentukannya yang bersifat "top down", di luar fungsinya sebagai tempat latihan militer, alun alun juga sarat dengan makna simbolis dan spiritual ketimbang makna ruang terbuka publik.

Menjelang abad ke Sembilanbelas, di era kolonial, Belanda mulai memperkenalkan konsep taman publik sebagai bagian dari leisure (kegiatan waktu senggang). Namun didorong oleh politik rasial yang diterapkan penguasa Belanda saat itu, umumnya taman kota tidak memiliki makna inklusif. Dilatarbelakangi oleh struktur sosial kelompok penjajah dan terjajah yang menjadi ciri khas kota kolonial, kelompok terjajah adalah pribumi non elit yang tidak menganggap taman kota sebagai fasilitas yang diperuntukkan bagi mereka. Penelusuran dan kajian terhadap ruang leasuredi kota baru Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) menunjukkan bahwa di pasca kemerdekaan, tidak ada memori kolektif budaya taman yang muncul dalam benak mayoritas masyarakat urban, antara lain sebagai akibat dari sejarah panjang warga kota yang hidup dalam kungkungan budaya kota kolonial. Disamping itu, tidak banyak taman taman yang dibangun dan diwariskan oleh Belanda. Bahkan satu satunya taman yang dibangun oleh Belanda di Weltevreden yaitu Taman Wilhelmina sengaja digusur oleh Soekarno karena dianggap sebagai bagian dari sejarah kelam jaman kolonial.

Semangat membangun kota di era kemerdekaan, terutama di masa Soeharto tidak dibarengi oleh pengembangan ruang terbuka, bahkan yang terjadi justru penciutan area terbuka. Pada tahun 2000an orang ramai membicarakan tentang area terbuka yang (seolah tanpa disadari) jumlahnya telah menurun drastis.

Di tengah tengah euphoria membangun tanpa kenal henti, tiba tiba kita tersentak oleh kenyataan pahit, karena ruang terbuka hijau di Jakarta yang idealnya tersedia 30% ternyata kini telah menyusut menjadi 9,98%. Penelusuran terhadap peta peta lama kota Jakarta menunjukkan bagaimana dari satu dekade ke dekade berikutnya, ruang ruang terbuka hijau harus mengalah dan berganti rupa menjadi ruang terbangun dalam berbagai warna kuning, merah atau biru, sebagai representasi fungsi hunian, komersial dan perkantoran.

Gambar 2: Kantong kantong ruang sisa di perkampungan padat penduduk
Gambar 2: Kantong kantong ruang sisa di perkampungan padat penduduk
Dari sisi gaya hidup, selama beberapa dekade pasca kolonial, budaya menghabiskan waktu di taman bukan hal yang jamak ditemui di kalangan warga kota besar. Kalaupun direncanakan dan dibangun, misalnya di kawasan permukiman baru yang dirancang oleh pemerintah, umumnya hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan atau standard yang ditetapkan berdasarkan aturan pemerintah kota. Tidak ada keseriusan untuk membangun taman-taman kota yang layak, sehingga umumnya taman taman berada dalam kondisi terbengkalai dan terabaikan. Warga kotapun enggan untuk memanfaatkan keberadaan taman.

Sebaliknya, di wilayah kampung kampung padat, terbentuk kantong kantong ruang terbuka yang hidup karena dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat berkumpul. Sebenarnya kantong kantong tersebut hanyalah sepotong ruang sisa, yang terbentuk secara organik hasil dari proses pembentukan kampung kota yang kian hari kian memadat. Ruang terbuka terbesar umumnya tak lebih dari sebatas lahan yang hanya dapat digunakan sebagai lapangan bulutangkis. Sayangnya, ketika kendaraan bermotor menjadi sarana yang mudah diperoleh warga, kantong kantong tersebut berubah menjadi tempat warga memarkir motor, disamping tempat untuk menjemur baju atau untuk kepentingan domestik lainnya.

Undang undang RTH

Ketika dunia semakin riuh membahas isu lingkungan dan perubahan iklim, perencanaan ruang terbuka sebagai salah satu unsur penting kota tidak lagi dibahas sebagai sekedar wacana namun sudah menjadi bagian dari undang undang penataan tata ruang. Pada tahun 2008 Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan peraturan Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Disebutkan bahwa Ruang terbuka hijau (RTH) publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.

Salah satu diantara adalah Taman kota atau lahan terbuka, yang sesuai dengan makna sosial dan estetika yang disandangnya, selain menyandang makna ekologi, ia juga berfungsi sebagai sarana kegiatan rekreasi dan edukasi pada tingkat kota. Taman kota dirancang untuk melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk RTH lapangan hijau, yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga. Yang utama, luasan yang tidak tertutup bangunan ataupun perkerasan besarnya ditetapkan minimal 80%-90%.

Tim Mitra RTH

Gaung kewajiban pemerintah kota untuk menyediakan RTH disambut oleh lembaga lembaga swasta, sebagai bentuk pengejawantahan partisipasi swasta melalui penggunaan dana CSR (Corporate Social Responsibility), misalnya seperti yang kita lihat dalam pembangunan RPTRA (Ruang Publik Terbuka Ramah Anak) di DKI Jakarta. Sesuai dengan namanya, RPTRA dirancang dengan fungsi lebih dari sekedar ruang hijau, tetapi juga merupakan bagian dari pengejawantahan ide kota ramah anak yang dicanangkan oleh Unicef. Kota ramah anak adalah indikator utama untuk menilai apakah sebuah kota memiliki habitat yang baik, yang didukung oleh pemerintahan dan masyarakat yang demokratis. Pada tahun 2016 tercatat telah dibangun RPTRA di 186 lokasi di seluruh wilayah DKI Jakarta.

Selain lembaga bisnis swasta, lembaga sosial nirlaba juga tak ketinggalan ikut berparsipasi dan memberikan kontribusi. Pada tahun 2012-2017 American Red Cross (AmCross) bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) telah mencanangkan apa yang disebut sebagai proyek Greater Urban Disaster Risk Reduction (GDRR).

Salah satunya dalam bentuk Progam Peningkatan Fungsi RTH atau RTH dengan tujuan tambahan, yaitu dapat menjadi titik kumpul/titik evakuasi/titik pengungsian apabila terjadi suatu bencana atau situasi darurat. Untuk pendampingan teknis perancangan maupun pelaksanaannya, di awal tahun 2016, Palang Merah Indonesia dan American Red Cross mengajak Universitas Indonesia melalui lembaga Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI (DRPM). Maka gayungpun bersambut. Setelah penandatanganan MoU dan kontrak kerjasama, DRPM ikut berkomitmen melalui alokasi sejumlah dana serta membentuk tim pendamping.  Mereka adalah dosen maupun mahasiswa  UI dari Departemen Arsitektur Fakultas Teknik dan Fakultas Psikologi.

Gambar 3: Tim Mitra RTH dan warga di lokasi sasaran program
Gambar 3: Tim Mitra RTH dan warga di lokasi sasaran program
Keterlibatan American Red Cross, Palang Merah Indonesia dan UI didukung oleh kerja keras tim volunteer PMI yang dikenal sebagai SIBAT atau Siaga Bencana Berbasis Masyarakat. Seluruh pihak yang terlibat bergabung membentuk "Tim Mitra RTH" untuk berkoordinasi membangun kapasitas dan kekuatan dalam proses pelaksanaan maupun pengawasan proyek RTH di lingkungan yang dipilih sebagai sasaran program. Selain sebagai penyandang dana, Tim Mitra RTH juga memiliki kepentingan untuk berbagi pengetahuan dengan warga tentang aspek tanggap bencana dan potensi bencana alam yang mungkin terjadi di sekitar lingkungan kehidupan mereka. Warga perlu disadarkan bahwa disamping memiliki nilai ekologi dan sosial, RTH juga salah satu titik mitigasi bencana.

Gambar 4: Proyek revitalisasi RTH dalam proses pembangunan
Gambar 4: Proyek revitalisasi RTH dalam proses pembangunan
Untuk memaksimalkan peran warga lokal dalam proses perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan RTH, maka warga mendapat kesempatan untuk berkontribusi menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktu mereka. Dengan pertimbangan bahwa program peningkatan RTH mengutamakan upaya revitalisasi RTH yang sudah ada, maka di tahap pertama di tahun 2016 telah dilakukan revitalisasi RTH yang sudah ada di 4 titik di Kabupaten Bogor, yaitu di RTH Pondok Rajeg, RTH Sukahati, RTH Karadenan dan RTH Waringin Jaya. Pada tahun 2017 revitalisasi dilakukan di 6 titik yaitu 1 titik di RTH Kelurahan Kademangan Barat, Jakarta Utara dan 5 titik lainnya di Pondok Rajeg, Kedung Waringin, Karadenan, Waringin Jaya dan Sukahati. Seluruhnya berada wilayah Cibinong, Kabupaten Bogor. Dalam program ini Tim Mitra RTH mencoba selangkah lebih maju, bukan lagi sekedar membicarakan ruang terbuka dalam ukuran prosentasi ataupun meter persegi. Bukan juga dengan pendekatan "top down" namun"bottom up" sehingga warga juga ikut aktif membidani kelahiran kembali RTH milik mereka sendiri. Tim mitra RTH mencoba bahu membahu bersama warga mewujudkan impian yang sebenarnya tidak terlulu muluk. Mari kita kembalikan hak warga kota yang merdeka untuk menikmati RTH dalam arti yang sesungguhnya.

Deskripsi Program:

KEMITRAAN UNTUK PROGRAM PENGABDIAN MASYARAKAT

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM-UI)

Partner: Palang Merah Indonesia (PMI) dan American Red Cross (AmCross)

Judul: Peningkatan Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Koordinator: Teguh Utomo Atmoko

Anggota: Ova Candra Dewi, Evawani Ellisa, Wustari Gunadi Mangundjaya dan tim mahasiswa S1 dan S2 Departemen Aristektur Fakutas Teknik Universitas Indonesia

Tulisan oleh: Evawani Ellisa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun