Taman kota dalam tradisi kota di Indonesia
Taman kota, salah satu elemen kota yang belakangan ini menjadi primadona. Mulai dari kota besar hingga kota kecil, pengelola kota berlomba lomba menjadikan taman kota sebagai salah satu ikon andalan. Walaupun kebijakan penyediaan taman publik sebagai acuan normatif rancang kota bukan hal yang baru, taman taman kota kita baru belakangan ini menggeliat dan menunjukkan sosoknya. Mengapa baru sekarang? Apakah karena taman kota sebagai ruang bagi khalayak warga kota bukan bagian dari tradisi kota di Indonesia?
Sejauh ini, berdasarkan penelusuran terhadap bukti bukti galian arkeologis, memang belum ada temuan yang memberi gambaran tentang keberadaan taman terbuka untuk umum, kecuali taman taman yang dibangun sebagai kelengkapan istana para raja. Gagasan tentang karakteristik kota ditinjau dari dimensi struktur kota lama di Jawa ditengarai oleh keberadaan satu satunya ruang terbuka berbentuk bujur sangkar yang disebut sebagai "alun alun". Oleh penguasa, alun alun sengaja diposisikan berada di depan istana sebagai representasi eksistensi penguasa. Sesuai dengan proses pembentukannya yang bersifat "top down", di luar fungsinya sebagai tempat latihan militer, alun alun juga sarat dengan makna simbolis dan spiritual ketimbang makna ruang terbuka publik.
Menjelang abad ke Sembilanbelas, di era kolonial, Belanda mulai memperkenalkan konsep taman publik sebagai bagian dari leisure (kegiatan waktu senggang). Namun didorong oleh politik rasial yang diterapkan penguasa Belanda saat itu, umumnya taman kota tidak memiliki makna inklusif. Dilatarbelakangi oleh struktur sosial kelompok penjajah dan terjajah yang menjadi ciri khas kota kolonial, kelompok terjajah adalah pribumi non elit yang tidak menganggap taman kota sebagai fasilitas yang diperuntukkan bagi mereka. Penelusuran dan kajian terhadap ruang leasuredi kota baru Weltevreden (sekarang Jakarta Pusat) menunjukkan bahwa di pasca kemerdekaan, tidak ada memori kolektif budaya taman yang muncul dalam benak mayoritas masyarakat urban, antara lain sebagai akibat dari sejarah panjang warga kota yang hidup dalam kungkungan budaya kota kolonial. Disamping itu, tidak banyak taman taman yang dibangun dan diwariskan oleh Belanda. Bahkan satu satunya taman yang dibangun oleh Belanda di Weltevreden yaitu Taman Wilhelmina sengaja digusur oleh Soekarno karena dianggap sebagai bagian dari sejarah kelam jaman kolonial.
Semangat membangun kota di era kemerdekaan, terutama di masa Soeharto tidak dibarengi oleh pengembangan ruang terbuka, bahkan yang terjadi justru penciutan area terbuka. Pada tahun 2000an orang ramai membicarakan tentang area terbuka yang (seolah tanpa disadari) jumlahnya telah menurun drastis.
Di tengah tengah euphoria membangun tanpa kenal henti, tiba tiba kita tersentak oleh kenyataan pahit, karena ruang terbuka hijau di Jakarta yang idealnya tersedia 30% ternyata kini telah menyusut menjadi 9,98%. Penelusuran terhadap peta peta lama kota Jakarta menunjukkan bagaimana dari satu dekade ke dekade berikutnya, ruang ruang terbuka hijau harus mengalah dan berganti rupa menjadi ruang terbangun dalam berbagai warna kuning, merah atau biru, sebagai representasi fungsi hunian, komersial dan perkantoran.
Sebaliknya, di wilayah kampung kampung padat, terbentuk kantong kantong ruang terbuka yang hidup karena dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat berkumpul. Sebenarnya kantong kantong tersebut hanyalah sepotong ruang sisa, yang terbentuk secara organik hasil dari proses pembentukan kampung kota yang kian hari kian memadat. Ruang terbuka terbesar umumnya tak lebih dari sebatas lahan yang hanya dapat digunakan sebagai lapangan bulutangkis. Sayangnya, ketika kendaraan bermotor menjadi sarana yang mudah diperoleh warga, kantong kantong tersebut berubah menjadi tempat warga memarkir motor, disamping tempat untuk menjemur baju atau untuk kepentingan domestik lainnya.
Undang undang RTH
Ketika dunia semakin riuh membahas isu lingkungan dan perubahan iklim, perencanaan ruang terbuka sebagai salah satu unsur penting kota tidak lagi dibahas sebagai sekedar wacana namun sudah menjadi bagian dari undang undang penataan tata ruang. Pada tahun 2008 Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan peraturan Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Disebutkan bahwa Ruang terbuka hijau (RTH) publik adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
Salah satu diantara adalah Taman kota atau lahan terbuka, yang sesuai dengan makna sosial dan estetika yang disandangnya, selain menyandang makna ekologi, ia juga berfungsi sebagai sarana kegiatan rekreasi dan edukasi pada tingkat kota. Taman kota dirancang untuk melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk RTH lapangan hijau, yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga. Yang utama, luasan yang tidak tertutup bangunan ataupun perkerasan besarnya ditetapkan minimal 80%-90%.